"Kau duduk terlalu jauh Huang."
"Lalu?"
"Aku kesulitan untuk mengobati lukamu."
"Aku tidak memintamu untuk mengobati luka ku. Lagipula kau mau mengobatiku pakai apa?"
Benar juga, aku kan tidak membawa barangnya.
Helaan nafas terdengar pasrah dari bibirku, setelah menunduk menundukkan kepalaku sesaat, lalu menoleh pada si pemuda Huang yang duduk jauh dari jangkauanku. Tatapan pemuda itu lurus ke depan, menatap damainya air sungai yang bergelombang diterpa angin malam.
"Kau masih marah padaku?"
Pertanyaan ku berhasil membuat Huang Renjun menatapku.
"Apa aku pernah bilang marah padamu?"
"Tidak, tetapi sikapmu menunjukkan bahwa--"
"Aku tak marah, aku hanya kecewa."
Huang Renjun menyela ucapanku, matanya kembali menatap ke arah sungai, "Tapi setelah aku pikir-pikir..." Lelaki itu menatapku lagi, "Aku egois jika ikut menjauhimu. Kau tak cukup kuat untuk bertahan hidup sendirian."
Apa dia bilang?
"Hey, sebelum kau hadir dalam hidupku aku bisa hidup sendirian!" Sarkasku tak terima.
"Lalu siapa yang tadi siang mencoba bunuh diri dengan cara berdiri ditengah jalan ketika sebuah bus akan melintas?"
Astaga, mengapa kau membahas hal itu Huang Renjun! Tadi siang pikiranku sedang kacau, dan kau salah satu penyebabnya.
"Itu.. itu..." Ah, diriku mendadak tak bisa menjawab pertanyaan si Huang.
Membahas kembali mengenai hal itu, saat itu pikiranku sedang diujung tanduk, aku tak bisa lagi untuk berfikir jernih.
Siapa yang tak kaget ketika tiba-tiba seorang pria yang sudah beristri tiba-tiba mengajakmu menikah?
Meskipun tujuannya adalah untuk bertanggungjawab tetapi tetap saja itu tindakan yang salah bukan? Juga aku sudah melihat keadaan istri dari pria itu yang menurutku tak kalah menyedihkannya dariku.
"Masih ingin bunuh diri?"
Aku menunduk malu setelah melihat wajah datar itu. Huang, mengapa sekarang kau lebih memperlihatkan raut itu? Aku lebih suka melihatmu yang cerewet daripada seperti ini.
"Maaf.." gumamku yang bisa dipastikan masih terdengar oleh Renjun.
"Mengapa meminta maaf padaku? Minta maaflah pada Tuhan."
Benar juga, pasti Tuhan lebih kecewa padaku saat ini. Tuhan, maaf aku belum bisa menjadi umatmu yang kuat itu. Badai yang Engkau berikan untukku terlalu besar. Apakah itu artinya.. kebahagiaan ku dimasa depan juga akan berlimpah? Aku harap begitu.
Ketika aku masih menunduk sembari terus merapalkan permintaan maaf pada Tuhan dalam hatiku. Aku merasakan sebuah rangkulan dipundakku, membuat diriku menoleh ketika mendapati Renjun yang sudah bergeser tempat duduk.
Lelaki itu duduk sangat dekat denganku, bahkan lebih seperti berdempetan. Aku menatap wajah itu, tampan, itulah yang muncul di otakku saat ini.
Huang Renjun tersenyum ke arahku, senyuman khas miliknya yang menurutku sangat lucu. Meskipun wajahnya dipenuhi luka memar dan lecet yang bahkan lebih parah dariku, itu tidak melunturkan ketampanan dan kelucuan seorang Huang Renjun.
Ah, mengapa aku jadi memuji nya.
"Kau sudah tidak marah lagi padaku?-- ah, maksudku, kau sudah tidak kecewa?" Tanyaku pelan. Sungguh diriku gugup ketika di tatap seperti itu olehnya.
"Masih... Saat pertama kali melihatmu yang sedang menangis sendirian didekat gudang, awalnya aku pikir kau hanyalah gadis lugu yang difitnah oleh siswa-siswi disekolah. Tapi ternyata berita itu benar--" Huang Renjun memutuskan kontak mata diantara kami, lelaki itu menatap langit malam yang gelap.
"--Apa lagi ketika aku melihat dengan mata ku sendiri kau sedang berciuman dengan guru brengsek itu." Lanjutnya.
Jadi, Huang Renjun benar-benar melihat adegan itu ya? Padahal jika dilihat lebih jelas lagi, diriku menangis saat itu. Menandakan bahwa aku sama sekali tidak menikmatinya.
"Emm.. Huang... Apakah kau yang menyebarkan bukti itu?"
Alih-alih menjawab, Huang Renjun malah terkekeh, entah apa yang lucu. Namun hal itu berhasil membuat diriku menghangat, akhirnya Huang Renjun sudah tidak datar lagi.
"Tentu saja bukan, aku tidak sejahat itu, Anna."
Lalu siapa jika bukan Huang? Apakah ada orang lain yang melihatku selain lelaki itu?
"Aku pergi ke club' itu bersama Haechan. Dialah yang merekamnya."
Haechan? Siapa dia? Apakah dia mengenalku? Mengapa namanya terdengar sangat asing.
"Siapa Haechan?" Tanyaku penasaran.
"Dia teman lamaku yang baru kembali dari Jepang. Dia ikut ibunya dinas disana. Nanti ku kenalkan kau padanya."
Ah, ikut ibunya ke Jepang ya? Hm.. jadi dialah yang menyebarkan bukti itu? Tapi mengapa? Saling kenal saja tidak!
"Dia yang menyebarkan rekaman itu?"
Tapi bagaimana bisa? Bukankah kepala sekolah bilang jika yang menyebarkannya adalah salah satu murid? Memangnya si Haechan-Haechan itu murid disekolah nya?
"Aku tidak tahu mengenai hal itu."
Baiklah, kurasa berkenalan dengan lelaki bernama Haechan tidak ada salahnya. Aku akan menyelidiki lelaki itu.
"Kau tak ingin mengobati lukamu, Huang?" Diriku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Omong-omong, setelah Huang Renjun mengaku jika dialah kekasihku. Jung Jaehyun marah besar dan langsung menghajar Renjun tanpa ampun, dan lebih parahnya si pemuda Huang itu tak pandai berkelahi.
Jadilah kami berdua saat ini seperti habis menjadi korban pembegalan.
"Kita obati di rumah pohon saja, sekalian menginap disana sepertinya ide bagus?"
.
.
.
.Huang Renjun
.
.
.
.Haechan baru muncul namanya doang, jadi pict nya nanti ya kalo anaknya dah muncul ke permukaan :v
.
.
.See you next chapter 🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To Home [ft. Huang Renjun]
Fanfiction"Jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, apa kau akan menerimanya?" "Maafkan aku, Huang..." "Tak apa, aku akan menunggumu. Sampai bertemu di lain waktu." ------ () Bahasa baku! () Sudut pandang orang pertama! () Setiap chapter pendek! karena ini...