[ Chapter 2 ]

19 14 9
                                    

"Sudah ku bilang kau tidak perlu sekolah! Tugasmu itu mencari uang untukku dan melayani tuanmu! Dasar anak nakal!"

Malam itu, tubuhku dipukul secara terus-menerus. Ayah terus saja memaki diriku dengan kata-kata kasar dan dan tajam. Tatapan bengis ayah membuatku takut menatapnya.

"Maafkan aku ayah, aku hanya ingin menikmati masa muda ku disekolah." Aku berucap lirih berharap ayah mengerti apa yang ku mau.

Plak!

Suara tamparan keras lagi-lagi terdengar, pipiku merasakan panas dan perih. Namun itu tak seberapa, karena hatiku jelas lebih sakit daripada luka yang menjalar di seluruh tubuhku.

"Jalang sepertimu tidak seharusnya berada disekolah, apa kau tak mengerti juga hah? Masa muda mu seharusnya dihabiskan untuk melayani para pria di club' malam!!"

Cukup sudah! Apa pantas seorang ayah menyebut anaknya sendiri dengan sebutan jalang? Apa pantas seorang ayah menyuruh anaknya sendiri memuaskan pria hidung belang ditempat berdosa itu? Apa pantas seorang ayah memukul anaknya yang hanya ingin bersekolah seperti anak lainnya?

Tolonglah, aku hanya ingin hidup sebagaimana seorang gadis biasa. Ketika anak lain seusiaku mendapatkan apa yang mereka inginkan, aku bahkan sebaliknya. Aku dipaksa untuk menuruti semua keinginan ayah. Apa yang ada dipikiran ayah hanyalah uang.

Apa uang lebih penting dari seorang anak?

"Ayah, aku ini anak ayah kan?"

Ayah menatap ku dengan tatapan tajam, sebisa mungkin aku menatap manik itu. Meskipun terhalang oleh buliran air mata, aku melihatnya. Melihat kebencian dalam mata ayah.

"Ya, kau anak ayah. Anak ayah yang tidak tahu diri!! Kau anak durhaka yang tak pernah menuruti perintah ayahnya sendiri! Pembangkang!"

Sungguh malang nasibku..

Mendengarnya membuat hatiku semakin sesak, rasanya saat itu juga aku ingin nyawaku diambil oleh Tuhan.

Aku melihat ayahku pergi meninggalkan ku yang bersimpuh di atas dinginnya lantai dengan pakaian kusut serta kotor, aku hanya bisa terisak.

Lengan penuh goresan luka akibat kerasnya cambukan, mataku sembab, hidungku mengeluarkan cairan merah pekat, sudut bibir yang sobek, serta kaki ku berubah menjadi berwarna hijau akibat pukulan gagang sapu yang tiada hentinya.

Semua ini berawal dari ayah yang memergokiku keluar dari gerbang sekolah ketika bell pulang sekolah itu berbunyi.

Aku berusaha merogoh saku rok abu-abu yang ku pakai, semoga saja ponselku baik-baik saja. Segera ku hubungi seseorang ketika ponsel ku masih menyala.

"Hallo."

"Huang, aku membutuhkanmu."

"Aku kesana saat ini juga!"





°°°°°




"Menurutmu... Apakah Tuhan menyayangi umatnya?"

"Tentu saja."

"Tapi mengapa Dia membiarkan ku menderita?"

Huang Renjun, lelaki itu menoleh menatapku. Matanya seolah kasihan melihat keadaanku yang seperti ini. Ah, aku benar-benar malu, seharusnya aku tidak menemui lelaki itu disaat keadaanku seperti ini. Pasti dalam hatinya berkata 'Kau sangat jelek.'

"Dia tidak membiarkanmu menderita. Dia hanya sedang mengujimu, seberapa kuatkah umatnya dalam menjalani kerasnya hidup." Ucap si pemuda Huang.

Entahlah, ketika orang lain menyebutnya Renjun. Aku lebih memilih untuk menyebutnya Huang, si lelaki bawel dan cerewet.

"Tapi mengapa hidupmu tidak keras sepertiku? Kau mempunyai ibu yang menyayangimu, dan ayah yang selalu menuruti keinginanmu."

Lelaki itu tersenyum padaku, "Itu artinya kau adalah manusia kuat, jika aku menjadi dirimu aku tak yakin akan sekuat dirimu ketika menghadapi semua ini. Kau manusia pilihan Tuhan yang diciptakan untuk menjadi kuat."

"Tapi aku tidak kuat, Huang. Aku lelah!"

Tanpa sadar air mata ku kembali meluncur membasahi pipiku yang membuatku terasa perih, mengingat betapa kerasnya tamparan tadi.

"Hei, kau tidak boleh seperti itu. Tuhan membenci umatnya yang suka mengeluh."

"Aku hanya ingin hidup normal! Aku ingin hidup selayaknya anak muda! Diperlakukan dengan kelembutan bukan kekasaran! Tuhan tidak adil padaku, aku benci Tuhan!!"

Malam itu juga aku mengeluarkan semua keluh kesah ku pada Huang Renjun, lelaki yang selalu ada disaat aku membutuhkannya.

"Anna, kau tidak boleh berkata seperti itu. Akan ada kebahagiaan setelah sulitnya perjalanan hidupmu. Aku yakin kau mempunyai masa depan yang cerah, kau adalah wanita tangguh dan kuat. Jika kau merasa lelah, aku ada. Aku akan mendampingimu melewati hidup mu yang berliku ini. Jangan menangis okey?"

Lelaki itu mengusap pelan pipi ku yang memerah, aku menatapnya. Manik itu membuatku tenang.

Huang Renjun, lelaki itu menarik tubuhku untuk berada dalam dekapan hangat, sebuah pelukan erat yang membuat ku nyaman.

"Aku akan selalu bersamamu, Anna."

Lelaki itu melepaskan pelukannya, menatapku kembali dengan tatapan teduhnya. Entah mengapa, ditatap seperti itu membuat hatiku sedikit terguncang.

"Bulan akan selalu menerangi gelapnya malam."

Sejak saat itu, aku memutuskan bahwa Huang Renjun adalah lelaki sempurna yang dikirim tuhan untukku.

Tuhan, maaf jika kadang aku membenci-Mu. Aku percaya pada-Mu jika Huang Renjun adalah lelaki yang dikirim oleh Engkau, untuk menguatkan ku. Iya kan?

.
.
.
.

Huang Renjun

Huang Renjun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.

See you next chapter 🌱

Back To Home [ft. Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang