6. Drama Cinta Giodan

93 16 4
                                    

Nggak semua hal bisa di perbaiki, meski ketika masih sama-sama menyimpan perasaan yang sama.

---

Part paling menyedihkan dalam hidup seseorang adalah kehilangan orang yang paling berarti. Mungkin kalo kehilangan suatu benda masih bisa diganti, tapi kalo nyawa? Nggak akan pernah ada yang sama isi hatinya. Sebagian orang yang sering kali merasa kehilangan bisa jadi membangunkan sebuah trust issue dalam dirinya. Membentengi diri untuk mengenal orang baru karena berpikir jika mereka akan pergi pada akhirnya. Sama seperti sebelum-sebelumnya.

Jani menatap lekat ke arah sebuah bingkai foto, yang dimana terdapat foto dirinya dengan seorang laki-laki seraya tersenyum lebar. Itu kakaknya -Abim. Hansip kesayangannya, yang selalu menjaga kemanapun Jani ingin pergi. Sudah hampir setahun, kakak nya itu terbaring koma. Dokter bahkan sudah sering kali mengatakan, kecil kemungkinan kakak nya itu untuk sadar. Terkadang, Jani tersenyum kecil melihat kakaknya yang terbaring. Bukan, ia bukan merasa senang. Ia hanya merasa kasian karena kakaknya itu hanya bernafas dengan alat bantu pernafasan di sekujur tubuhnya. Nyawanya ada diantara hidup atau mati.

Dengan bermodal selimut dan guling kesayangannya, Jani keluar dari kamar dan pergi menuju kamar kak Abim. Cara untuk mengobati kerinduannya, hanya menjenguk cowok itu di rumah sakit, atau tidur dikamar cowok itu. Kali ini, Jani memilih opsi kedua karena ini sudah masuk larut malam.

Wangi maskulin langsung menusuk indra penciuman Jani. Setiap masuk ke kamar ini, yang di lakukan Jani hanyalah tiduran di ranjang empuk milik sang kakak. Dia tak pernah mengotak-ngatik barang disini meski se-centi pun. Semua masih pada tempatnya, seperti terakhir kali abangnya singgah. Gitar yang menggantung di dinding, poster-poster lagu rock yang menjadi pelengkap dinding, serta sebuah jam dinding yang sudah mati alias tak berfungsi. Bahkan, bentukan dari meja belajar cowok itu juga masih tetap sama. Ada satu hal yang akhirnya menarik perhatian Jani. Sebuah album dengan cover sekumpulan remaja yang mengenakan topi. Motif topi nya juga sama, cobra.

"Kok gue baru tau ya, bang Abim punya album. So sweet juga dia, sampe mau mengabadikan foto di album," gumam Jani seraya tersenyum kecil.

Lembaran pertama, diisi dengan foto Abim yang berlumuran telor dan tepung terigu, sepertinya itu kejadian ketika sang kakak ulang tahun, dan teman-temannya melakukan ritual yang biasa disebut dengan ceplokin. Di lembar kedua, berisi foto Abim yang sedang menghisap sepuntung rokok. Kemudian, Jani merasa jika lembaran-lembaran berikutnya, isi fotonya semakin ekstrem. Mulai dari seseorang bertopi dengan rompi jeans, yang wajahnya terdapat banyak lebam namun tak terlihat jelas seperti apa detailnya, lalu cowok yang memegang sebuah tongkat sambil tersenyum penuh misteri. Hingga di lembar terakhir, seorang cowok terkapar tak berdaya. Jani buru-buru menutup album foto itu. Pikirannya melalang buana. Banyak pikiran negatife yang memenuhi otaknya perihal sebab dibalik kakaknya yang koma.

"Jani, tidur sayang. Besok sekolah," teriak sang mama yang membuat Jani keluar dari lamunannya. "Iya, ma."

Jani pun mulai menutup kelopak matanya, dan segera ingin menjemput sang bunga tidur yang ia harap indah.

---

Pagi-pagi sekali, Jani sudah berada di koridor kelas. Sejak semalam, entah kenapa ia jadi suka melamun.

"Permisi."

"Eh, iya?"

"Renjani ya?," tanya seorang laki-laki sambil memasang senyum termanisnya. Jani yang merasa di berikan senyuman hanya menautkan alis menandakan jika ia tak kenal dengan cowok di hadapannya ini. Sudah tau kan reputasi Jani yang terkenal dengan 'kurang ramah.'

TRIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang