Renjani masuk kerumahnya. Ia mengerutkan keningnya ketika melihat sang papa yang sudah duduk di sofa depan tv.
"Kamu abis bolos kemana?"
Mampus, maki Renjani dalam hati. Saking merasa bersalah pada Gale, ia jadi tak sadar jika ia bolos sekolah. Saat Renjani berhasil meloloskan diri dari tempat yang ia tak ketahui, Renjani balik menuju sekolahnya. Suasana kelas sudah sepi dan hanya meninggalkan beberapa orang yang mendapat jadwal ekskul.
"Papa kok—"
"Tadi papa ke sekolah mau lunasin tunggakan SPP, pas papa nyari kamu di kelas, kamu nya nggak ada. Terus papa tungguin sampe jam pulang, kamu nya nggak keluar-keluar."
"Ehm, itu tadi-"
"Papa udah cari uang capek-capek buat kamu sekolah, kamu nya malah nggak bener," ujar sang papa dengan nada tinggi. Dada Renjani sudah sesak menahan tangis.
Tanpa sepatah kata, papa nya pergi dari hadapan Renjani. Cewek itu kemudian masuk ke dalam kamarnya dengan lesu. Ia sadar ini memang salah dirinya sepenuhnya. Disaat seperti ini, kadang Renjani jadi rindu dengan sosok kakaknya, Abim. Kakaknya itu selalu jadi penenang ketika ia mendapat omelan.
Renjani buru-buru pindah ke kamar kak Abim. Ia menemukan ketenangan disini. Meski kak Abim tak ada di sampingnya saat ini, tapi Renjani masih bisa merasakan hangatnya suasana disini. Renjani tak sengaja menjatuhkan sebuah lampu diatas nakas. Menampakkan sebuah gelang yang tersembunyi di dalamnya. Gelang hitam dengan bentuk bandulan yang indah tapi menyeramkan. Cobra. Lagi-lagi bentuk itu mengganggu pikirannya. Kenapa setiap yang bersangkutan dengan kak Abim selalu ada bentuk cobra? Jani bertanya-tanya dalam hatinya. Tapi berhubung gelang itu indah, Renjani langsung memasangkan di lengan kiri miliknya.
Pikiran Renjani jadi melayang kemana-mana jika sedang melamun. Kenapa ya, punya strict parent harus setidak menyenangkan ini. Semuanya jadi serba dibatasi. Padahal, kadang kala Renjani juga ingin sering pergi main layaknya teman-temannya yang lain. Mengisi sorotan insta story dengan foto di cafe, bikin sorotan khusus bucin bareng pacar, semua itu terlihat tidak mungkin bagi Renjani.
Semenjak kakaknya terbaring koma, ia benar-benar seperti rapunzel yang dikurung di sebuah menara. Ada satu hal yang pernah kak Abim ucapkan, dan itu menjadi alasan kenapa Renjani masih bisa bertahan sampai sejauh ini.
"Kesedihan di hari ini, bisa jadi Tuhan gantikan dengan kebahagiaan yang di lipat gandakan di esok hari. Jadi, ketika lo nggak punya alasan untuk bertahan, maka menunggu bahagia adalah alasan untuk lo tetep hidup."
Saat sedang asik-asik melamun, Renjani mendengar ayahnya berteriak. "Jani, kamu nggak belajar? Besok sekolah, Jan."
"Iya."
"Iya, iya doang. Kamu tuh udah gede, kapan mikirnya sih? Kamu itu harus pinter, biar nanti cari kuliah gampang, dapet kerjaan yang enak. Papa nih udah susah, masa kamu mau susah juga."
Renjani memejamkan matanya, menutup kedua telinganya dan berusaha sekuat mungkin untuk menahan air matanya agar tidak meluncur. Tidak bisakah ia rehat sejenak? Belajar, belajar, belajar terus.
"Pa, justru karna Jani udah gede, Jani udah tau apa yang terbaik buat diri Jani, dan kapan harus ngelakuin semuanya." Kalimat itu tentunya hanya mampu Jani simpan dalam hatinya.
Kadang Renjani merasa, bahwa keluarga memang bukan rumah sepenuhnya. Seharusnya ia punya ketenangan disini, seharusnya ia bisa mendapatkan dukungan di dalam sini.
Kenapa semakin dewasa, semakin ia merasa jika tidak ada yang mengerti dirinya. Renjani pun kembali ke kamarnya untuk mengikuti intruksi papa nya. Belajar. Tangannya membuka buku, tapi pikirannya entah berada dimana. Tanpa dirasa, air matanya menetes begitu saja dari pelupuk mata Renjani.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIAL
Teen FictionTentang sebuah pertemuan yang awalnya hanya sebatas kecelakaan di kantin dan menyebabkan anting Jani harus tersangkut di gelang milik Gale. Entah bagaimana kronologinya, namun semenjak itu mereka jadi sering bertemu hanya untuk mendebatkan masalah s...