"Duduk," titah Gale. "Gue kan mau ngobatin—"
"Ya udah duduk dulu, gue ambilin kotak obat. Lo mau ngobatin sambil berdiri?"
Renjani duduk di sebuah kursi kayu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya. Matanya mengamati sekeliling. Tangannya terlipat di dada. Namun, seketika badannya tersentak kaget kala segerombolan cowok berseragam SMA datang berbondong-bondong sambil mendorong salah satu cowok yang kini sudah tersungkur ke bawah.
Brak. "Ngaku anjing! Lo suruhan siapa!?"
Renjani masih diam tak bergeming namun sarat akan ketakutan mulai muncul di wajahnya. Perlahan Renjani bangkit dari duduknya, kakinya berjalan mundur namun matanya masih fokus ke depan. Hingga tak sengaja, ia menabrak seseorang di belakangnya. "Eh–"
"Masuk, Jan!"
"Hah?"
"Gue bilang, masuk ke dalem. Tutup pintunya, jangan ngintip dan jangan nguping." Bukannya tenang, ia malah semakin takut dengan nada bicara Gale yang mengintimidasi. Renjani pun menuruti ucapan Gale. Cowok itu sedang dalam mode serius, dan ia pikir bukan waktu nya yang tepat untuk memulai sebuah perdebatan. Jani benar-benar menuruti semua ucapan Gale. Ia memejamkan matanya, menutup kedua telingan dan duduk di lantai. Mulutnya komat kamit seolah sedang merapalkan doa.
"Plis, aku nggak mau jadi korban kekerasan atau pemerkosaan atau apapun itu. Ya Allah, itu anak-anak cowok kok banyak banget ya," gumam Renjani sambil masih menutup telinganya.
Sudah hampir lima belas menit berlalu, Gale tak kunjung menyusulnya ke dalam, namun suara ricuh diluar juga sudah tak lagi terdengar. Renjani membuka matanya perlahan. Mengamati sekeliling. Ruangan ini minim penerangan, hanya terdapat satu lampu di atas sebuah meja, namun hal itu membuat Renjani jadi memfokuskan matanya pada dinding dengan ribuan kertas dan foto yang tertempel di sana.
Sedangkan Gale yang duduk di luar, dibuat kaget kala temannya menyinggung soal Renjani. "Tadi gue kayak liat cewek duduk disini."
"Mampus!," umpat Gale. Ia sedikit berlari dan mendorong pintu dengan keras hingga menimbulkan suara yang mengejutkan seseorang di dalamnya.
"Udah room tour nya?," tanya Gale. Renjani hanya mengangguk, namun tak berniat mengeluarkan sepatah kata pun.
"Ayo keluar," ajak Gale. Renjani menggelengkan kepalanya dan masih memilih bungkam.
"Lo mau nginep disini?" Lagi dan lagi, Renjani hanya menggeleng.
"Bisu lo ya? Jangan geleng atau kepala lo lepas dari leher sekarang juga," ancam Gale yang membuat Renjani bergidik ngeri dan tak sadar jika kepalanya kembali menggeleng perlahan.
"Satu, dua, ti— lo kenapa sih diem aja?" Gale mulai frustasi dengan sikap Renjani yang selalu berubah ubah. "Takut."
"Takut apa?," tanya Gale dengan tatapan bingung. Apa yang sebenarnya cewek itu takutkan, pasalnya Gale tidak merasa ada hal menyeramkan yang harus ditakutkan, kecuali kalo dia takut segerombolan cowok di luar itu melakukan hal-hal aneh pada cewek itu.
"Di depan banyak cowok, mukanya sangar-sangar. Mereka nggak mau perkos—"
Tak. Sebuah sentilan mendarat di dahi Renjani. "Bisa-bisanya lo mikir gitu! Nggak bakal lah. Mereka tau lo tepos."
"Bajingan lo, kak! Maksud lo—" Buru-buru Gale membekap mulut Renjani yang miskin saringan itu. Bisa-bisanya cewek itu takut dan berpikiran aneh-aneh, lalu kemudian menjerit tak karuan.
Renjani berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan tangan Gale dari mulutnya. Alih-alih memohon dengan lembut, Renjani malah meremas tangan Gale yang terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIAL
Teen FictionTentang sebuah pertemuan yang awalnya hanya sebatas kecelakaan di kantin dan menyebabkan anting Jani harus tersangkut di gelang milik Gale. Entah bagaimana kronologinya, namun semenjak itu mereka jadi sering bertemu hanya untuk mendebatkan masalah s...