II - Batavia, Februari 1942.

258 39 7
                                    

DUA BULAN berlalu sejak kemunculan pertama pesawat perang di Batavia. Keadaan tidak kunjung membaik; bahkan lebih buruk dari bulan-bulan sebelumnya.

Warga Batavia, terutama orang-orang Eropa dan Cina, tersapu dalam kepanikan luar biasa. Tentara Jepang yang berada nyaris di depan mata membuat mereka lari tunggang-langgang meninggalkan Batavia, menuju ke bungalo masing-masing yang letaknya ada di puncak bukit. Dalam perjalanan menuju pengungsian pribadi, tidak sedikit orang Eropa yang turut serta membawa harta benda mereka seperti, uang, barang berharga, dan kain-kain sutera. Suasana panik ini menjadi kesempatan emas bagi kelompok penyamun; mereka merampok dan membunuh orang-orang Eropa dalam perjalanan menuju bungalo. Ironi, memang. Ketika orang-orang Eropa menganggap bahwa meninggalkan Batavia merupakan langkah yang tepat untuk menghindar dari tentara Jepang, mereka malah dirampok oleh para penyamun pribumi. Tidak ada tempat yang benar-benar aman dari kejaran tentara Jepang.

Keluargaku termasuk dari sebagian kecil orang Eropa yang tetap tinggal di Batavia. Kami tidak punya bungalo untuk berlindung, lalu Papa yang terjun langsung mengelola bakkerij juga menjadi alasan mengapa kami tetap di sini, di Batavia. Pada awalnya, sebelum memasuki bulan Februari, keluarga kami tidak begitu memedulikan keadaan di luar sana yang sudah berubah menjadi haru biru. Namun, beberapa minggu terakhir, selain penurunan drastis pembeli roti, terjadi pula kelangkaan bahan-bahan produksi seperti tepung roti, susu, dan telur. Perusahaan yang biasa memasok untuk bakkerij tidak sanggup lagi memberikan bahan-bahan seperti biasanya. Walaupun di toko lain tersedia, harganya melambung sangat tajam, efek dari perang yang berkecamuk di pasifik.

Kemalangan bertubi-tubi menampar keras keluargaku; menariknya kepada realita yang terjadi. Barulah Papa dan Mama mengalami kepanikan seperti orang-orang Eropa lainnya. Mama mulai menimbun makanan-makanan kaleng sebagai persediaan jika sewaktu-waktu makanan hangat sulit didapat, untuk berjaga-jaga, Mama juga menanam sayuran seperti kentang, wortel dan kubis. Sedangkan, Papa memangkas produksi roti dan mau tidak mau memotong beberapa persen gaji karyawan bakkerij. Orang tuaku sendiri juga menyuruh aku dan kakakku mengungsi ke Kudus, ke tempat kerabat Mama. Tentu saja aku menolak karena tidak mau berpisah dengan Papa dan Mama, begitu juga kakakku.

Di Rechtshoogeschool sendiri, kampus nyaris kosong. Mahasiswa berangsur-angsur menghilang dari peredaran di kelas, terutama mahasiswa perempuan. Hanya tersisa sedikit mahasiswa yang masih mengikuti perkuliahan. Lalu, hal aneh lainnya, dosen-dosen kami memberi kuliah dengan mengenakan seragam stadswacht[1]dan landwacht[2]. Di depan kelas, mereka memakai sepatu lars disertai helm metal, persis seperti serdadu yang akan terjun ke medan perang. Yang berbeda dengan kelas hari itu adalah, jumlah mahasiswa yang tidak mencapai 10 orang. Hanya ada satu mahasiswi yang hadir.

Saat kutanya Laili—satu-satunya mahasiswi yang berada di kelas filsafat hukum—ia berkata padaku, "Seharusnya yang khawatir itu kau, Adriaan. Lebih-lebih kau, Geest. Yang mereka incar adalah orang kulit putih seperti kalian."

Ucapan Laili membuatku dan Geest bersilih pandang. Aku masih belum bisa menangkap arti dari ucapan Laili sepenuhnya. Kugaruk rambutku yang tidak gatal, kemudian menoleh ke arah Geest. Geest, di sebelahku mematung; sorot matanya terpaku mengekori Laili yang lama-kelamaan menghilang di koridor.

Di hari-hari berikutnya, batang hidung Geest tidak nampak lagi di kampus. Dua hari setelah keabsenan Geest di Rechtshoogeschool, sore harinya sepucuk surat tersarang di kotak surat rumahku. Pengirimnya adalah Geest. Ia mengabariku lewat lembaran surat ini bahwa dirinya dan keluarga pergi mengungsi ke vila pamannya di Soekaboemi, menghindari tentara Jepang yang akan memasuki Batavia. Tidak disebutkan kapan ia akan kembali ke Batavia, yang pasti, Geest berjanji padaku agar kami bertemu kembali setelah perang usai.

The Final Days of BataviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang