WELTEVREDEN tidak pernah semencekam ini. Atau setidaknya yang kualami selama dua puluh tahun aku hidup di Batavia.
Hari itu tanggal 8 Desember 1941. Di hari Senin yang lazimnya orang-orang memenuhi jalanan, bergegas menuju tempat kerja masing-masing. Sepeda-sepeda yang biasa memenuhi jalan raya; trem kota dengan penumpang yang berjubel di dalamnya; mobil dan delman yang berlalu lalang; serta orang-orang berjalan tidak sabaran di trotoar, semuanya tidak lagi tampak. Hanya ada beberapa pesepeda yang melewati Koningsplein. Suasana yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Waterlooplein, tempat yang biasa dikunjungi warga Kota Batavia kini benar-benar sunyi; tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia sama sekali. Awan muram yang memayungi kota menambah cekam atmosfer hari ini. Batavia sudah persis seperti kota mati.
Ketika kukayuhkan sepeda dari Kramat menuju Koningsplein, di sepanjang jalan raya polisi-polisi berjaga-jaga di jantung Kota Batavia. Setidaknya satu hingga tiga peleton polisi dikerahkan, disebar ke tempat-tempat vital di kota, seperti Molenvliet, Rijswijk, Weltevreden, Noordwijk, dan Koningsplein. Dengan atribut lengkap, polisi-polisi juga memberhentikan beberapa orang mencurigakan, baik pejalan kaki maupun pesepeda yang melintas. Mereka melakukan pengecekan terhadap identitas orang tersebut menggunakan tanda pengenal. Setelah melakukan validasi, orang yang diberhentikan itu kemudian dilepaskan.
Aku salah satu di antaranya. Selagi memperhatikan kondisi kota yang begitu sepi dan jalan yang terlampau lengang, seorang polisi Eropa memberhentikanku, kemudian menyuruhku turun dari sepeda. Saat itu, aku masih belum mengerti dengan situasi aneh ini, yang kulakukan hanya melakukan apa yang polisi itu perintahkan: memperlihatkan tanda pengenal dan melaporkan kegiatanku, termasuk dari mana aku berasal, tujuanku bersepeda melintasi kawasan ini, dan alasanku keluar rumah. Lalu kukatakan saja pada polisi itu: rumahku di kawasan Weltevreden, sedang menuju ke Koningsplein Barat, tepatnya ke Rechtshoogeschool[1] untuk menghadiri perkuliahan pukul 07.30. Polisi itu sejenak memandangku, kemudian kembali menatap lekat-lekat tanda pengenal yang kuperlihatkan. Ia mengangguk, lalu melepasku setelah berkata, "Jangan terlalu sering berada di luar rumah. Keadaan sedang tidak kondusif."
Peringatan si polisi tidak kutangkap dengan baik sebab aku bergegas pergi setelah ia mengembalikan tanda pengenal milikku. Buru-buru, kukayuh sepedaku yang berbelok ke arah Koningsplein Barat tanpa tahu apa yang sedang—atau akan terjadi nantinya. Orang-orang di sekitarku sempat mengabarkan bahwa perang yang meletus dua tahun lalu di daratan Eropa sana semakin memanas. Pasukan-pasukan sekutu berhasil dikalahkan di beberapa tempat, sebagian dipaksa mundur. Awalnya, aku berpikiran bahwa perang tidak akan terlalu mempengaruhi kondisi di Hindia. Daratan Eropa ribuan kilometer jauhnya, kurasa tidak mungkin dampak langsung terjadi di sini. Di Batavia pasti selalu aman.
Mulanya begitu yang kuyakini, sampai salah satu teman dekatku, Geest Schijkman, berkeriau kepadaku di koridor gedung Rechtshoogeschool seraya berkata, "Adriaan! Adriaan! Angkatan Udara Jepang menjatuhkan bom ke Pearl Harbor! Perang Raya semakin menegang!"
Tentu saja mahasiswa lain—yang jumlahnya tidak sebanyak biasanya—menoleh ke arah kami dengan tatapan risih. Aku terpaksa menjejali mulutnya yang berisik itu dengan roti hangat dari bakkerij[2] Papa. Seketika, Geest berhenti meracau, lantas menatapku dengan senyum.
"Hau huhah denghar rahdio hahi ini? (Kau sudah dengar radio hari ini?)" tanya Geest dengan roti yang memenuhi mulutnya.
"Habiskan dahulu rotimu, Geest. Kita bicara di ruang kelas."
Geest mengiyakan anjuranku. Ia menghabiskan roti dengan lahap sepanjang perjalanan kami menuju kelas.
Sewaktu memasuki ruang kelas C yang posisinya berada di tengah gedung, aku terkejut melihat mahasiswa yang menghadiri perkuliahan jumlahnya tidak sampai lima belas orang. Sebelumnya, tidak pernah kusangka peristiwa ini akan terjadi: ruang kelas yang sepi mahasiswa! Barulah aku menyadari bahwa Perang Raya yang terjadi di daratan Eropa sana menjadi permasalahan yang cukup serius untuk Hindia, terutama sejak pengeboman Pearl Harbor oleh Jepang—seperti yang dikatakan Geest pagi tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Final Days of Batavia
Ficción históricaBatavia di akhir tahun 1941 hingga awal tahun 1942 dalam keadaan siaga. Pasukan Jepang sudah di depan mata, hanya satu langkah lagi yang tersisa untuk merebut Batavia dari Pemerintah Kolonial Belanda. Adriaan Hendricus van Steenwijk tidak pernah men...