HALAMAN MUKA surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mencetak setengah halaman berita tentang pemerintah Hindia Timur yang pergi meninggalkan Hindia, dipimpin oleh Hubertus van Mook. Di bawah berita itu, foto Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer terpampang nyata, diikuti judul berita yang menuliskan bahwa Gubernur Tjarda tetap tinggal di Batavia.
Membaca berita pagi ini membuat Papa geram. Ia membanting surat kabar itu ke atas meja, kemudian mengutuki pemerintah kolonial Belanda yang tidak becus mengurus Hindia. Alih-alih melindungi daerah koloninya, van Mook malah kabur membawa Mr. Soejono, seorang anggota Raad van Indië dan mantan Bupati Pasuruan, serta Mr. Lukman Djajadiningrat, seorang Bupati prominen dari keluarga Djajadiningrat yang terkenal seantero Hindia. Mereka meninggalkan Hindia untuk mencari suaka di Australia. Hanya Gubernur Tjarda yang dihormati oleh Papa karena keputusannya untuk tetap tinggal di Batavia. Tetapi perlu kuakui, langkah yang diambil Gubernur Tjarda adalah langkah bunuh diri.
Sarapan pagi di awal bulan Maret ini tidak berlangsung baik-baik saja. Setiap pagi sebelum sarapan bersama di ruang makan, Papa selalu menanti pengantar surat kabar yang biasa mengantarkan surat kabar Bataviaasch Niewsblad—ya, Papaku seorang Belanda progresif, ia sangat menghargai perjuangan dan organisasi nasionalis Bumiputra dan sangat membenci mantan Gubernur Jenderal de Jonge yang sinting itu. Tidak jauh berbeda dengan Papa, kakakku selalu menyalakan radio yang ada di ruang tengah untuk mengetahui kondisi Batavia dan berita-berita penting. Hari-hari di sepanjang awal Maret kami lalui dengan berita-berita mencekam dari radio. Ditambah lagi sirine peringatan bahaya yang semakin sering berbunyi, terlebih di malam hari. Rasanya seperti merasa tidak aman walaupun kami berada di rumah sendiri.
Mama tidak jauh berbeda. Ia mengeluhkan bahan-bahan pokok yang harganya semakin melambung tinggi. Lalu, kelangkaan bahan produksi bakkerij membuat kami terpaksa menutup toko untuk beberapa hari. Pekerja-pekerja diliburkan, beberapa dipensiunkan dan diberi pesangon tidak seberapa. Papa dan Mama sudah tidak memiliki uang lagi untuk memberi makan mereka setiap bulannya sebab penurunan jumlah pembeli yang cukup drastis. Pelanggan bakkerij didominasi orang-orang Eropa dan Cina. Namun karena keadaan genting ini, kebanyakan dari mereka memilih untuk meninggalkan Batavia. Dan kami kena imbasnya. Sebagai gantinya, mama mengikuti kelas pertolongan pertama bersama ibu-ibu dan remaja perempuan lainnya. Sepanjang penutupan sementara bakkerij, Mama juga diajari cara-cara untuk mengelola bakkerij tanpa Papa, mengatur administrasi rumah, dan keuangan keluarga. Papa melakukan semua hal ini untuk berjaga-jaga andaikata ia, kakakku, dan aku tidak ada yang selamat ketika Jepang mengambil alih Batavia. Darah Belanda mengalir di tubuh kami bertiga, dengan kata lain kami merupakan target incaran serdadu Jepang. Sedangkan mama orang Jawa asli, posisinya lebih aman ketimbang kami bertiga.
Malam Senin di minggu pertama bulan Maret terasa agak sunyi. Kami berkumpul bersama di ruang makan untuk menyantap makan malam yang dibuat Mama. Tentu saja diskusi alot mengangkat topik yang sedang hangat tidak pernah luput dari meja makan kami. Walaupun hanya seorang pemilik toko bakkerij menengah, Papa rajin mengikuti berita perpolitikan Hindia. Mama juga sama; latar belakang yang hanya dari kampung kecil di Kediri tidak menghentikannya untuk mempelajari banyak hal, termasuk pergerakan Bumiputra. Kakakku, Martinus Witkerk van Steenwijk memiliki pemikiran yang sedikit berbeda dari Papa dan Mama. Pergaulannya dengan orang-orang Belanda semasa bersekolah di HBS Prins-Hendrikschool membuatnya minim terpapar ideologi nasionalis atau pun radikal. Ia berdiri di garis batas netral antara Hindia dan Belanda, tidak begitu tertarik pula dengan perpolitikan yang tengah membara. Meskipun begitu, kakakku tidak secongkak layaknya orang Belanda pada umumnya. Ia hanya pendiam dan pasif, tidak memiliki cita-cita sepertiku yang ingin menjadi hakim. Kakakku lebih sering menghabiskan waktunya bersama Papa di bakkerij. Papa mengangkatnya sebagai kepala dapur, bertugas memastikan proses pembuatan roti dan kue berjalan lancar. Tidak heran jika sewaktu-waktu Papa mewariskan bakkerij kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Final Days of Batavia
Fiksi SejarahBatavia di akhir tahun 1941 hingga awal tahun 1942 dalam keadaan siaga. Pasukan Jepang sudah di depan mata, hanya satu langkah lagi yang tersisa untuk merebut Batavia dari Pemerintah Kolonial Belanda. Adriaan Hendricus van Steenwijk tidak pernah men...