V - Jakarta, Januari 1946.

213 29 12
                                    

AKU MENYERAH. Sungguh, aku sudah sangat lelah menghadapi tiap cobaan yang menampar hidupku terus menerus tanpa henti. Barangkali Tuhan benci padaku, atau Tuhan memang tidak suka melihatku hidup bahagia bersama keluargaku. Barangkali di kehidupan sebelumnya aku adalah seorang pendosa yang pantas mendapatkan hukuman di kehidupan selanjutnya.

Kiranya ingatanku tidak begitu baik ketika peristiwa itu terjadi. Apakah sudah satu bulan berlalu? Tiga bulan? Atau bahkan satu tahun? Aku tidak ingin mengingatnya. Aku memaksa kerja otakku untuk tidak mengingat kapan mereka mengumandangkan kemerdekaan. Ya, sebuah negara baru terlahir. Sebuah bangsa yang pada akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan puluhan tahun belakangan. Sebab itulah semua orang bersuka cita menyambut hari-hari baru sebagai masyarakat "Indonesia" yang menyongsong ke depannya.

Terkecuali diriku. Tidak ada lagi yang bisa kusambut baik dari kelahiran sebuah negara republik baru ini. Tidak ada yang dapat kusambut dengan suka cita sementara keluargaku hancur berantakan.

Sejak kakakku tewas ditembak oleh serdadu Jepang, Mama jatuh depresi karena mengalami syok berat, kemudian mengakibatkannya sakit berbulan-bulan. Kenestapaan diiringi oleh penyakitnya kian lama kian menggerogoti hidup Mama. Tubuh Mama yang dahulu gempal dan berisi itu menjadi sangat kurus bak orang kekurangan gizi, bahkan aku dapat melihat tulang-tulang yang semakin menonjol. Juwita rupa wajahnya kini hilang tergantikan oleh kerutan pada wajah serta bibir keringnya yang mengelopek. Pendar cahaya dari matanya telah lama meredup, hanya tersisa pandangan kosong yang terpaku lurus. Helaian rambut sewarna kelam malam yang indah itu tergantikan oleh uban-uban putih yang hampir memenuhi kepalanya.

Mama, satu-satunya perempuan yang kucintai dalam hidup ini sudah berubah menjadi seonggok daging tanpa jiwa.

Tidak lama setelah Mama jatuh sakit, aku berhenti dari surat kabar Bataviaasch Nieuwsblaad untuk merawat Mama. Selama beberapa bulan itu aku merawat Mama di rumah kami, di Weltevreden. Hanya rumah itu harta keluargaku yang tersisa. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana kondisi toko roti keluargaku setelah kematian kakakku. Bagiku, satu-satunya tempat paling aman untuk saat ini adalah di rumah sendiri, bersama Mama. Meskipun Mama tidak lagi seceria dan secerewet dulu, setidaknya aku bisa menemaninya setiap hari, melewati hari yang terasa memilukan.

Tatkala pagi datang, Mama tidak pernah beranjak dari ranjangnya hingga sore tiba. Tiap petang, Mama selalu duduk melamun di kursi rotan beranda depan. Tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya, hanya taatapan matanya tertuju pada langit yang akan berganti raja. Jika malam telah tiba, Mama kembali ke dalam rumah lalu duduk di sofa ruang tengah. Mama tidak pernah tidur di ranjangnya sendiri, harus aku yang membantu mengangkat tubuhnya jika ia sudah memejamkan mata. Begitu rutinitasku sehari-hari kujalani bersama Mama. Kusadari satu hal bahwa pandangan matanya yang kosong ke luar rumah mengisyaratkan seolah-olah Mama menunggu kedatangan seseorang di ujung jalan. Barangkali menunggu Papa kembali dari kamp, atau kakakku kembali dari kematiannya ...

Setelah menjalani kehidupan yang senyap bersama Mama, pada akhirnya aku mencapai titik akhir dari perjalanan merawat Mama. Tiga bulan sejak ia jatuh sakit, Mamaku menghirup napas terakhirnya di rumah kami. Mama meninggal dengan cepatnya sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi atas kematiannya. Pilu memenuhi hatiku; jiwaku terasa seperti dicabik-cabik dengan sangat kasar, tetapi aku tidak bisa menangis, hanya bisa meratapi kepergian Mama yang begitu menyakitkan untuk disaksikan.

Detik itu juga, aku sangat, sangat ingin mati.

"Adriaan, anak bungu Mama, jagoan Mama yang paling hebat, ingat perkataan Mama: sekeras apapun masa depan menantimu, jangan biarkan dirimu kalah dari kehidupan ini. Dunia tidak selamanya indah dan terus berpihak kepadamu, ada kalanya kau dikhianati, ada kalanya kau ingin berhenti dan menyerah begitu saja. Namun, Adriaan, semua itu hanyalah sebuah proses yang harus kau lalui dalam hidupmu. Jadi, Nak, Mama ingin kau menjadi anak yang kuat walaupun orang lain merajammu berkali-kali." Sekelibat memori masa lalu menggelayuti pikiran. Nasihat yang Mama berikan kepadaku ketika aku berusia duabelas tahun seperti terputar kembali dalam benak.

The Final Days of BataviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang