TIDAK ADA LAGI Batavia untuk hari ini, esok, lusa, dan selamanya. Kini nama Batavia yang tersohor seantero dunia hanya akan dikenang sebagai bagian dari sejarah, sebab Batavia telah jatuh sepenuhnya ke tangan Jepang.
Jalan raya yang kulewati sepanjang Koningsplein tidak lagi sama dengan dua tahun lalu, ketika aku masih melakukan rutinitas pagiku: bergegas dari rumah mengayuhkan sepedaku menuju Rechtshoogeschool untuk menimba ilmu. Tidak ada lagi orang-orang Eropa yang berlalu lalang dengan kesibukan mereka di jantung kota Batavia, atau pun warga Batavia yang berjubel dalam trem listrik yang melintasi Molenvliet. Kini yang menggantikan mereka adalah puluhan kompi serdadu Jepang berikut mobil dan truk militer yang tersebar di penjuru kota dan berjaga sepanjang hari. Benar-benar tidak lagi kutemukan orang Eropa di kawasan ini selama dua tahun terakhir.
Begitupula Papaku. Aku tidak pernah lagi melihat Papaku sejak dua tahun berlalu.
Kali terakhir aku melihat Papa ketika ia diangkut menggunakan truk militer sebelum dikumpulkan di lapangan Waterlooplein bersama orang-orang Eropa lainnya. Aku ingat betul masa-masa itu; ketika serdadu-serdadu Jepang menyisir kawasan Weltevreden untuk mencari orang-orang Eropa, kemudian menyeret paksa mereka ke lapangan Waterlooplein untuk diangkut ke tempat lain, atau lebih tepatnya dimasukkan ke kamp interniran. Kala itu para serdadu Jepang menyisir setiap rumah di Weltevreden untuk mencari orang Eropa. Mereka menempatkan orang-orang Eropa di sebuah kamp—atau lebih tepatnya penjara karena mereka dianggap sebagai ancaman bagi Jepang. Aku yang selalu menyimak berita-berita radio mengenai Perang Pasifik paham betul bahwasanya orang-orang Eropa di Hindia adalah tawanan perang. Otoritas orang-orang Eropa di Hindia begitu besar sehingga Jepang memblokade kekuasaan mereka, bahkan mencabutnya hingga ke akar.
Kupikir ketika Gubernur Tjarda menyerah tanpa syarat di Linggardjati dua tahun lalu, serdadu-serdadu Jepang itu akan memperlakukan kami dengan baik, atau setidaknya sebagaimana standar manusiawi. Tetapi ternyata aku salah: mereka sama bajingannya dengan anjing-anjing Nazi. Mereka bahkan menempatkan Gubernur Tjarda di kamp interniran. Berikut reaksiku mendengar berita itu: gila! Betul-betul gila!
Memoriku masih mereka jelas hari terakhir aku bersama dengan Papa. Hari-hari itu berlangsung di bulan November tahun 1941; langit begitu kelabu di hari minggu yang semestinya penuh dengan sukacita, rintik hujan menghujam tanah dan menguarkan bau petrikor yang khas. Di luar rumah kami, berpuluh-puluh truk militer hilir mudik melewati perumahan orang Eropa. Tak lama berselang, serdadu-serdadu Jepang berseragam cokelat dengan sepatu lars mereka menerobos rumah kami, lalu berteriak Gaishutsu! berulang kali. Mereka membawa bedil tatkala menggeledah rumah kami. Papa yang saat itu sedang berada di dapur dengan sigap menghadang salah satu serdadu Jepang yang berusaha menginterogasi Mama. Ketika Papa berusaha mendekati si serdadu, ia malah memoporkan bedilnya ke arah Papa sembari meracau dalam bahasa Jepang.
"Bawa purugi Orando ini! Cupat!" jerit si atasan.
"Hei, hei, apa yang kau lakukan di rumahku?!" Papa menghampiri sekumpulan serdadu Jepang yang memenuhi ruang tengah kami.
Di belakang si serdadu, atasan mereka maju beberapa langkah, kemudian meninju ulu hati Papa hingga Papa merintih kesakitan, kemudian terjatuh. Setelahnya, si serdadu menyeret paksa Papa dan memasukkan ke dalam truk militer yang terparkir di depan rumah kami.
Di sebelahku, Mama berusaha memelukku seerat mungkin. Mama meraung-raung memohon agar aku tidak ikut diseret bersama Papa. "JANGAN AMBIL ANAKKU! ANAKKU SEORANG INDO! DIA BUKAN BELANDA!"
Si atasan yang meninju Papa menghampiriku, sementara Mama berusaha menggamit lenganku untuk menjaga jarak dengannya. Laki-laki berkulit kuning yang tingginya tidak lebih tinggi dariku itu menarik wajahku dengan kasar, lalu mengobservasi tiap inci wajahku, memastikan bahwa perkataan Mama benar adanya. Sepasang matanya yang sipit itu beradu dengan mataku sewarna pohon mahoni. Tatapannya tajam seolah-olah bersiap untuk mengoyak tubuhku. Selama tiga menit kami saling beradu pandang. Wajahku dicampakkan olehnya setelah puas mengacak-acaknya. Ia berteriak sekali lagi sebelum melangkahkan kaki keluar dari rumah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Final Days of Batavia
Historical FictionBatavia di akhir tahun 1941 hingga awal tahun 1942 dalam keadaan siaga. Pasukan Jepang sudah di depan mata, hanya satu langkah lagi yang tersisa untuk merebut Batavia dari Pemerintah Kolonial Belanda. Adriaan Hendricus van Steenwijk tidak pernah men...