Dingin angin malam merasuk kulit, dan aku tidak memakai jaket, sangat pintar. Sepertinya tadi aku lupa mengambilnya, padahal sudah kusiapkan di dekat pintu.
Merobek bungkus permen, kemudian mulai membaca buku pelajaranku. Oh tidak, aku bukan tipe pelajar yang ambisius, aku hanya suka membaca. Ya, hanya itu. Menyempatkan diri untuk membaca di tempat umum pada malam hari.
"Sebentar, apa ini? Seorang gadis membaca buku yang berisi bab ekonomi di taman kota saat jam delapan lewat lima belas menit?"
Aku terlonjak, kaget bukan main. Melihat dengan sengit ke arah sumber suara, seorang pria menggunakan jaket hitam dan topi berwarna putih berdiri di belakangku.
"Apa?" katanya sambil duduk di sebelahku. Aku buru-buru membereskan permenku.
"Hey, santai. Aku nggak suka permen kok, apalagi mint," tangannya dimasukkan ke jaket miliknya. Melirik sejenak ke arahnya, kemudian aku melanjutkan membaca.
"Hei," panggilnya dengan gelombang suara beramplitudo rendah. Dengan berat hati aku menoleh dari buku ku, menaikkan alis, memberi tanda agar dia melanjutkan kalimatnya.
"Mengapa tidak ada bintang?"
"Apa?"
"Mengapa malam tak berbintang?" dia mengulang pertanyaannya.
Aku berpikir sejenak sebelum kemudian suaranya mendahuluiku, "Tahu kenapa tidak ada bintang malam ini?"
Aku menebak asal, "karena mendung ?"
Dia tersenyum, "Bukan, karena aku telah mencuri salah satu bintang paling terang," tangannya menunjuk ke arahku.
"Kamu."
Mencoba mencerna apa yang dia katakan, sejurus kemudian pipiku bersemu merah. "H - heii, kamu saja tidak tahu namaku."
Sambil tertawa kecil, dia mengambil permen mint yang aku letakkan di pangkuanku. "Namaku Davian, tapi dipanggil sayang juga noleh kok kalau sama kamu."
"Davian?" aku mengulang namanya. Dia mengangguk sambil berdiri, memberikan permen rasa buah ke tanganku, kemudian pergi tanpa kata apapun setelah menyebut namanya.
Benar benar malam itu, seluruh namanya menggema di kepalaku. Bahkan aku sampai lupa memberi tahu namaku kepada pria bermantel hitam itu.