Chapter 2

1.1K 190 5
                                    

ǁ Try Again ǁ

.

✌️♥️

.

Nanon Korapat
Chimon Wachirawit
Marc Pahun
Phuwin Tangsakyuen

.

.

.

"Bagaimana? Sudah memutuskan ingin pergi kemana?"

Phuwin terdiam―duduk dengan begitu baik sementara kedua matanya menatap punggung Chimon yang sedang memasak makan malam. Entah kenapa, Phuwin merasa ia sangat bersalah. Ia selalu memaksa ingin pergi ke Thailand, selalu bertanya mengapa ia tidak boleh pergi ke negera yang dijuluki negara gajah putih tersebut, bahkan tak jarang ia meninggikan suara saat ia tidak mendapatkan jawaban apapun dari ibunya.

Padahal ia sendiri tahu, sejak kecil, ia hanya tinggal berdua. Ia akan melihat ibunya pulang larut malam karena bekerja. Tapi dengan cinta yang ibunya miliki, ia selalu bisa pergi keluar negeri dalam setiap liburan panjangnya.

Phuwin jadi bingung, bagaimana ibunya bisa mengumpulkan uang begitu banyak, sehingga untuk kehidupan mereka dan semua yang diinginkannya selalu menjadi kenyataan.

"Mama?"

"Hm?"

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Ketika itu, Chimon selesai memasak. Ia membawa dua piring spaghetti dan menyimpan satu di depan putra satu-satunya tersebut. "Boleh. Tanya apa?" Jawabnya seraya mengambil posisi duduk di depan Phuwin. Tangannya bergerak menuangkan air putih untuk anak laki-lakinya.

Phuwin mengambil nafas pelan yang kemudian itu merebut atensi dari sang ibu. "Mama..." Ia menjeda sebentar, takut-takut sambil menatap mata seseorang di depannya. "...tentang Thailand... kenapa aku tidak boleh pergi kesana?"

Tiba-tiba, suasananya tidak secerah sebelumnya. Hening... hening sekali. Phuwin menundukan kepalanya dalam, tidak berani bertatapan dengan Chimon yang mengeraskan ekspresi wajahnya.

"Mama―"

"...mama rasa mama sudah sering mengatakan padamu untuk tidak menanyakan itu." Chimon tidak mengerti kenapa ia jadi mengeluarkan suara sedingin ini. Tapi, sudah seperti trauma, setiap Phuwin membahas satu-satunya hal yang tidak ia inginkan, maka inilah yang bisa ia lakukan. "Jangan memaksa mama untuk mengatakannya."

"Tapi aku ingin tahu, aku juga perlu jawaban logis dari mama." Phuwin mengeraskan suara. Seperti sudah tidak bisa menahannya lebih jauh lagi. "Mama tidak pernah mengatakan apapun tentang Thailand, padahal mama sendiri bilang kalau nenek dan paman ada disana. Kita hanya hidup berdua disini, padahal aku ingin tahu dimana papa dan siapa papa. Apa benar aku anak mama, darah daging mama, huh?"

Kedua tangan Phuwin terkepal diatas meja. Matanya sudah memerah bahkan ujung hidungnya juga, menatap sedih pada ibunya yang hanya diam.

"Katakan sesuatu jika aku memang anak mama. Beritahu aku tentang Thailand yang tidak pernah aku tahu. MAMA!"

"Habiskan makananmu." Chimon bersuara datar setelah ia menghela nafas beratnya. Beranjak dari sana, ia kemudian keluar dari dapur untuk kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata apapun lagi.

Yang mana itu membuat Phuwin menangis sendirian dan merasa begitu buruk untuk segala hal.

Spaghetti buatan ibunya adalah yang terbaik yang paling Phuwin sukai―tapi sepertinya, tidak untuk hari ini. Dengan cepat, Phuwin berlari meninggalkan dapur untuk mengurung diri di kamarnya setelah membanting pintu.

Aku hanya ingin tahu... ada apa di Thailand, dan juga tentang papa....

.

.

Marc tahu jika dirinya bukanlah putra kandung Nanon Korapat dan Chimon Wachirawit. Kedua orang baik hati itu mengadopsi Marc dari panti asuhan saat usianya belum genap enam tahun.

Ketika itu, ia seperti berada di surga. Nanon begitu baik sebagai ayahnya, begitupun dengan Chimon yang menyayanginya seperti layaknya seorang ibu kandung. Marc mendapatkan semuanya; kasih sayang, mainan, uang, semuanya.

Marc tidak begitu mengerti kenapa keluarga barunya begitu kaya yang memiliki banyak uang. Tapi sekarang ia paham, karena Nanon adalah seorang pebisnis dan pemilik sebuah perusahaan besar.

Tidak heran, jika sekarang, ketika ia mengatakan ingin pergi ke Kanada, Nanon langsung menyetujuinya dan semuanya tersedia dengan mudah.

Lihat saja, bahkan hari ini ia sudah mendarat di Bandara Internasional Vancouver bersama dengan sang ayah.

"Wah, Vancouver!" Marc berkata senang. Kacamata hitam yang ia pakai membuatnya terlihat sangat tampan; seperti Nanon Korapat meskipun mereka tidak satu darah. "It's been a long time."

―iya, ia pernah kemari, tapi itu dulu. Dulu sekali... ketika ia masih kecil, ia datang kesini bersama ibu dan ayahnya untuk berlibur.

"Kau senang?"

Marc mengangguk mantap. Ia tersenyum menatap Nanon. "Senang sekali, terimakasih." Ucapnya. Perasaannya menjadi semakin membaik ketika ia ingat apa yang menjadi tujuannya kemari bersama sang ayah―healing time untuk mereka berdua.

"Itu tidak masalah. Tapi papa rasa kita tidak bisa memulai rencana liburan kita hari ini, karena kita harus istirahat setelah perjalanan panjang."

"Tidak apa-apa. Kita punya banyak waktu di liburan kali ini, kan?"

Nanon hanya tertawa membalasnya. Tangannya terangkat untuk mengusak rambut Marc yang sekarang berwarna cokelat madu.

"Papa, kau ingat kapan terakhir kali kita datang kemari?"

Ayahnya seketika terdiam. Ia... tidak akan pernah lupa saat itu. Saat dimana dirinya, Marc, dan juga Chimon membuat banyak kenangan manis layaknya sebuah keluarga di liburan panjang musim panas. "Kenapa?"

"Kau tidak ingin bertanya kenapa aku memilih Vancouver sebagai destinasi liburan kita?"

"Kau merindukan ibumu, benar?"

"Hm―ya."

Tapi lebih dari itu... Karena aku tahu, mama dan adikku ada di kota ini. Vancouver...

.

.

Vancouver membawa Nanon mengingat semua kebersamaannya bersama dengan Chimon. Yang tidak pernah Marc tahu adalah Vancouver telah menyimpan lebih banyak kenangan tentang Chimon bagi Nanon.

Di tahun pertama mereka pacaran, mereka pergi Vancouver untuk menikmati gugurnya daun maple di musim gugur. Bahkan bulan madu mereka setelah pernikahan juga di Vancouver. Ketika mereka memiliki Marc, mereka juga memilih Vancouver sebagai tempat liburan mereka.

Dan sekarang...

...dirinya ada disini, Vancouver.

"Aku tahu kau ada disini, Chi..." Nanon bergumam pelan hingga suaranya sulit untuk terdengar di kamar hotelnya yang besar. "Sejak lama, aku tahu kau disini."

Karena bagaimanapun, Nanon terus mencari.

"...tapi aku tidak pernah memiliki keberanian untuk menemuimu karena semua kesalahanku―sangat fatal." Ingin menangis rasanya Nanon berkata seperti itu. Mengantarkannya pada sebuah memori lama tentang alasan kenapa Chimon memilih pergi meninggalkan mereka dan menghilang dari seluruh rotasinya seperti di telan bumi.

Dan maafkan aku... Karena aku tidak pernah tahu kalau Marc―memiliki seorang adik. Anakku...

.

.

.

To Be Continued~

Try Again [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang