Coburg, 25 Agustus 2021.
Tina masih ingat betul kalau itu adalah hari Rabu. Sebelumnya sudah ada pembicaraan soal Kanada oleh Dax. Mengingat Kanada, bukan hanya Dax yang khawatir, tetapi juga Tina.
Belum genap satu tahun di Jerman. Masih harus menyelesaikan College yang tersisa satu semester lagi. Benar-benar keputusan mendadak, jika Dax harus pergi sekarang. Tina selalu berusaha untuk tenang. Dia juga sudah menyiapkan hati dan mental untuk segala situasi terburuk.
Tina menuruni anak tangga lantai tiga di wohnungnya. Mencoba tidak begitu berisik, karena takut akan mengganggu yang lain. Waktu menunjukan pukul 10:00 pagi. Tina berpikir bahwa Dax biasanya masih tertidur.
Toktok! Toktok!
Tina membuka pintu kamar Dax. Ternyata kosong.Ia kemudian turun ke lantai satu. Sepatu Adidas berwarna abu-abu dengan sentuhan sedikit orange kesayangannya sudah tidak ada. Dax pergi lagi tanpa memberi tahu Tina.
Tina mencoba berpikiran jernih bahwa mungkin saja Dax pergi ke Stadt* untuk membeli Döner* kesukaannya. Tetapi ini sudah beberapa kali Dax pergi tanpa kabar. Sikap Dax juga sudah sangat berubah. Dingin.
Tina mencoba menunggu sambil memanaskan soto ayam yang kemarin ia buat. Sekalian jika pulang nanti Dax ingin memakannya untuk makan malam seperti biasa.
Ceklek!
Suara pintu. Itu pasti Dax. Tina sudah terduduk di tangga. Firasatnya sudah aneh, walaupun Dax terlihat begitu senang dan masih bersenandung ria.
Tetapi di hati Tina masih dipenuhi dengan pembicaraan soal Kanada kemarin.Tina mencoba menarik nafas dalam. Ia sudah yakin sejak kemarin bahwa pembicaraan soal Kanada adalah prihal serius, karena sudah menyangkut keluarga Dax. Hal itu boleh dibilang berkemungkinan 55% akan terjadi.
Sambil menyantap soto dengan topping sederhana, hanya bihun dan ayam. Rasa soto yang tadinya mengobati rindu Tina akan Indonesia, seketika menjadi tidak sedap lagi disantap. Walaupun tidak makan dari siang, tetap saja tidak ada satupun yang dapat menggugah selera Tina.
Kemudian terdengar langkah kaki menuju kamarnya.
"Itu pasti Dax!" Dalam hati Tina sudah ada rasa cemas, namun juga antusias.
"Tin, gue masuk ya?"
"He'eh.."
Muka Dax sudah tidak enak. Perasaan tadi yang dilihat Tina adalah Dax yang periang, yang baru saja pulang sehabis jalan-jalan.
"Kenapa?" Suara Tina sudah mulai sedikit bergetar.
"Gue harus balik.." Dax tertunduk. Dia tidak berani menatap Tina.
"Balik gimana? Selama-lamanya? Atau gimana? Seminggu?" Tidak bisa dibayangkan betapa sedih dan kaget menjadi satu dalam hati Tina.
"Ya.. mau gimana lagi.."
"Selama-lamanya?" Tina masih tidak percaya.
Dax mengangguk.
Tina masih bingung. Ia mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Mustahil.." Gumamya pelan.
"Jadi kita gimana?" Tina menahan tangisnya.
"Ya.. mau gimana lagi.." Dax masih tertunduk.
"Gimana? Kita jadi udahan?" Nada suara Tina perlahan meninggi.
Dax mengangguk.
Seketika itu juga tubuh Tina menjadi lemas. Dadanya terasa sangat sesak, seperti tertimpa batu ratusan kilo. Ia masih sangat sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRISTANA
RomanceTristana Caris William. Tristana berarti pembawa kesedihan. Terbukti dengan kehidupan percintaannya yang selalu gagal. Empat kali disakiti cowo membuatnya tidak lagi percaya akan adanya cinta sejati. Terutama yang terakhir ini, ketika ia merasa ber...