01: Sebuah Nama

2.2K 452 184
                                    

"Sebuah nama merupakan hadiah dari kasih sayang dan karena itulah aku tidak memilikinya."

****

"Pergi kau! Pergi dari desa kami!"

Sudah tak terhitung berapa banyak lumpur dan kotoran yang dilemparkan padanya. Tubuh yang sejak awal sudah kurus dan kotor itu terlihat semakin menyedihkan saja. Anak-anak lain bahkan enggan mendekat. Mereka bilang dia menjijikkan.

Kotor, bau, dan jelek.

Anak itu agaknya tidak terima bila dia dipanggil jelek. Dia hanya kotor saja. Jauh dalam lubuk hatinya, dia masih percaya bahwa wajahnya tidak sejelek yang dikatakan orang-orang.

Saat berhasil mencapai sungai yang agak jauh dari pemukiman –karena orang-orang desa melarangnya memakai sungai yang sama dengan mereka, dia menatap wajahnya terpantul di permukaan air.

Rambut hitam kusut, wajah penuh kotoran, dan mata kelam yang menakutkan. Kalau dia keluar malam-malam dengan penampilan seperti ini, ksatria paling pemberani pun bakal lari terbirit-birit.

"Bau sekali," dia bergumam sambil mengendusi tubuhnya sendiri. Sungguh, anak itu berani bertaruh bahwa tidak ada anak yang jauh lebih menyedihkan daripada dirinya di dunia ini.

"Satu, dua, tiga!"

Byur!!

Baru saja dia mulai meratapi nasib buruknya, anak itu terdorong jatuh ke dalam sungai. Susah payah dia berusaha agar tidak tenggelam karena dilempar mendadak ke sungai yang sebut saja alirannya cukup deras.

Anak-anak yang tadi melemparinya dengan kotoran mendorongnya menggunakan sebatang pohon yang cukup besar untuk harus dibawa bersama-sama. Mereka tertawa puas, berkacak pinggang, menunjukkan gigi mereka yang ompong sambil mulutnya terus mengeluarkan kalimat-kalimat hinaan.

"Rasakan itu! Yatim piatu! Pembawa sial! Mau apa kamu, hah?!"

Anak itu menatap mereka tajam. Namun, hanya beberapa saat kemudan, bibirnya menyunggingkan senyum tipis, "Terima kasih, ya, aku bisa sekalian mencuci bajuku."

"Cih, anak aneh!"

"Ayo pergi saja, ayahku bilang kalau ada di dekatnya kita bisa sial."

Sebenarnya, kesialan itu sudah ada di depan mata mereka sejak mereka melemparinya dengan kotoran. Namun, anak itu sedang tidak ingin buang-buang tenaga sehingga dia menahannya. Menahan semua energi hitam yang sedari tadi meletup-letup hingga serasa akan meledak.

Anak itu menghela napas panjang, lantas dia jatuhkan punggungnya ke air. Dia biarkan aliran sungai menghanyutkan tubuh kecilnya. Sambil menatap langit biru, ia berpikir untuk menyerah.

"Sialan, sepertinya langit pun sedang menertawakanku,"

Matanya terpejam, menikmati dingin aliran air. Kedua tangannya telentang, mengambang, dan mungkin saja dia akan tenggelam suatu waktu.

Yah, itu bukan cara yang buruk untuk mati. Lagipula, dia tidak punya cukup alasan untuk bertahan di dunia ini lebih lama.

Awalnya dia berpikir demikian, tapi tiba-tiba ada tali yang melilit dada sampai ke perutnya. Tubuhnya ditarik keluar dari air, melayang begitu tinggi hingga jatuh dalam gendongan seorang pemuda.

Pemuda itu terlihat terkejut, ekspresinya jelas sekali bahwa dia sedang panik. Dia baringkan anak itu di atas permukaan tanah yang kering, menekan-nekan dadanya dengan kekuatan penuh sambil terus berseru, "Hiduplah! Hiduplah! Jangan mati!"

Entah kenapa pemandangan yang seharusnya mendebarkan itu terasa menggelikan.

"Aku baik-baik saja."

CLANS: Tale of Warriors| ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang