08: Desa Awan (3)

1.5K 416 156
                                    

Ratusan anak panah dilesatkan, memberondong mereka bagaikan hujan. Ash mengibaskan tangannya ke udara, api besar menyala terang membentuk selubung panas yang melindungi mereka dari serangan anak panah itu.

Saat Yse hendak membantu, Jake menahannya.

"Hei, setidaknya orang-orang gila ini tidak berniat untuk membunuhmu setelah puas memanfaatkanmu," Jake melirik pada Kiel yang tampaknya sedang tidak baik-baik saja.

Anak itu menggigit bibirnya dengan tangan terkepal. Kiel menatap benci pada sang Nyonya dan seluruh pasukan pembunuh bayaran yang sudah siap dengan senjata-senjata. Tanpa hasutan dari Jake pun, Kiel sudah bertekad untuk menghancurkan mereka semua dengan tangannya sendiri.

"Oi, kalau mereka melempar pedang dan pisau ke sini, apiku tidak akan mempan," ujar Ash panik, "Aku serius, lho. Hei, ini sungguhan kita bisa mati. Kalian tolong berbuatlah sesuatu!"

Ash tidak habis pikir. Ada besi-besi tajam yang akan menghujani tubuh mereka, tapi tidak satu pun bergeming dari tempatnya. Yse dan Cahill hanya diam sambil mendongak. Jake malah sibuk mengoceh di samping Kiel, sedangkan Joan dengan santainya menusuk daging dan membakarnya di atas api unggun.

Joan memang belum makan malam, tapi tolonglah ini bukan saat yang tepat.

"Habislah kita."

Pedang, pisau, dan tombak dilemparkan ke arah mereka. Ash sudah pasrah saja kalau tubuhnya akan berlubang tapi sebidang atap batu tumbuh dari tebing di dekatnya, menahan semua senjata itu.

Ash memadamkan apinya ketika Kiel maju, "Namaku adalah Kiel –kekuatan dan biar ku tunjukkan arti kuat yang sebenarnya."

Kiel meninju tebing di hadapannya. Retakan besar merambat dengan cepat, tanah bergetar dan membuat seluruh pasukan pembunuh bayaran ribut tak tertolong.

Nyonya itu pasti tidak akan mengira bahwa Kiel sesungguhnya tidak pernah tunduk pada semua perkataannya. Dia pikir kalau dengan sedikit tekanan, Kiel akan kembali ke rumah dengan patuh. Tapi, dia salah sangka.

Sejatinya, tidak ada manusia yang rela diinjak untuk alasan utopis seperti kesetiaan dan pengabdian.

Kiel berhasil meruntuhkan sebuah tebing besar beserta manusia-manusia yang berdiri di atasnya. Mereka jatuh bersama puing-puing batu ke dasar jurang yang dalam. Selamat atau tidak, hanya dewa yang boleh menentukan. Tapi kalau bisa, Kiel berharap mereka mati saja.

"Wah, kalian semua punya kekuatan yang luar biasa. Aku jadi iri," kata Cahill.

"Tidak ada manusia selain kamu yang bilang iri pada monster seperti kami," sahut Jake, "Akan ku anggap itu sebagai pujian."

"Tapi, itu benar-benar pujian, kok. Omong-omong, sepertinya kita punya masalah baru."

Cahill menengok ke bawah jurang, "Seingatku, tebing itu adalah satu-satunya jalan untuk keluar masuk tempat ini."

"Tenang saja, kita punya pengendali tanah di sini."

.

.

Matahari yang terbit bersama kabut-kabut yang melayang di antara pilar batu dan tebing-tebing terasa begitu hangat. Kiel akhirnya bergabung dengan orang-orang yang dianggapnya gila itu tanpa menoleh lagi pada desanya yang dia tinggalkan di belakang.

"Panggil aku kakak," Joan berkacak pinggang di depan Kiel.

"Hah?"

"Sudah jelas aku lebih tua darimu, jadi kamu harus memanggilku kakak."

"Kalau begitu, kau juga harus memanggil kita semua yang di sini dengan 'kakak' juga, dong," goda Jake, "Jangan dengarkan dia, Kiel. Anak itu suka seenaknya sendiri."

CLANS: Tale of Warriors| ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang