Part 2

16.4K 214 2
                                    

Pov Dira

"Dira? Ngapain kamu pegang ponsel, Mas?"

Kepalaku langsung menoleh ke asal suara, di mana Mas Angga yang ternyata baru keluar dari dalam kamar mandi tampak berdiri dengan ekspresi tercengang kala menyadari aku sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

Kami berdua saling tatap, sebelum akhirnya aku membanting ponsel Mas Angga dengan keras ke lantai hingga benda pipih tersebut hancur berderai. Tapi tak lebih hancur dari perasaanku saat ini.

"Dira, apa-apaan?"

Mas Angga tampak sangat terkejut hingga kedua matanya membeliak lebar menatap benda yang selama ini jadikannya komunikasi dengan sundal itu telah hancur, teronggok rusak di atas porselen lantai kamar.

Laki-laki itu datang mendekat, menatapku nanar penuh tanya.

"Harusnya aku yang bertanya, Mas. Siapa sebenarnya perempuan yang kamu namai Budi di ponselmu itu? Siapa perempuan yang mengaku sedang hamil anakmu itu? Siapa?!" jeritku keras.

Aku kalap, kupukuli dada bidang Mas Angga yang masih terdapat titik-titik air di sana. Pun begitu, airmata ini mengalir deras tanpa bisa kucegah.

Perasaan ini rasanya tercabik oleh kenyataan bahwa rumah tangga yang selama ini kuanggap sempurna, ternyata menyimpan kebohongan di dalamnya. Lelaki yang aku kira setia, ternyata diam-diam bermain api di belakang.

"Dasar jahanam kamu, Mas!" pekikku sekali lagi sebelum akhirnya jatuh luruh ke lantai. Aku sesenggukan.

"Dira ... tenanglah dulu."

Mas Angga berjongkok sembari mencoba meraih bahuku. Tapi aku menepisnya kasar. Rasanya sudah tak sudi jika ia menyentuhku dengan tangannya barang seujung kuku pun.

"Jangan kau sentuh aku! Aku jijik, Mas!" sengitku dengan pandangan yang mengabur karena airmata.

"Kita bicara baik-baik dulu, Dira. Semua bisa Mas jelaskan."

Wajah Mas Angga tampak pias. Dari sorot matanya, aku bisa melihat betapa ia sangat shock dengan kejadian ini. Mungkin tak mengira, Tuhan akhirnya menunjukkan kebenaran padaku. Meski agak sedikit terlambat, sebab perempuan selingkuhannya itu telah hamil.

"Tak ada yang perlu kamu jelaskan, Mas. Detik ini juga, kamu talak aku. Kita bercerai!" tegasku.

Mas Angga mengusap wajahnya frustrasi. Seolah dalam hal ini, dia lah yang menjadi korbannya. Aku lekas berdiri, diikuti oleh Mas Angga yang juga ikut berdiri.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, aku berjalan menuju lemari pakaian, lalu menurunkan sebuah koper dari atas lemari.

"Dira, mau ke mana kamu? Jangan begini dong, Sayang. Semudah itu kah kamu ingin kita berakhir? Semudah itu, kamu meminta cerai? Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Dira."

Mas Angga mencekal tanganku yang terus bergerak mengambil helai demi helai pakaian yang sudah terlipat rapi di lemari, memasukkannya dalam koper dengan asal.

"Dan kamu, semudah itu kamu menggadai kesetiaan? Jangan salahkan aku meminta cerai, Mas. Tapi salahkan dirimu yang tak bisa setia. Lepaskan tanganku!" Kusentak tanganku hingga terlepas dari cengkeramannya.

"Kamu mau ke mana, Dira? Mau pulang ke rumah orangtuamu? Ingat Dira, kedua orang tua kita bersahabat baik. Jika kamu membesarkan masalah ini, hanya akan menghancurkan hubungan baik dua keluarga yang sudah lama terjalin." Mas Angga masih terus berupaya membujuk.

"Harusnya kamu pikirkan itu sebelum kamu berselingkuh dan meniduri perempuan lain, Mas! Dan asal kamu tahu, bukan aku yang menghancurkan hubungan baik keluarga besar kita, tapi kamu!"

Kusental turun koper yang sudah kukunci, lalu menyeretnya keluar dari kamar. Rumah ini adalah pembelian Mas Angga dari sejak kami belum menikah, jadi aku cukup tahu diri untuk tidak menuntut yang bukan hak ku.

"Dira, tunggu!" Mas Angga mengejar, namun aku tak peduli.

Hati ini terlalu sakit untuk memaafkannya. Begitu banyak pengorbanan yang sudah kulakukan demi menjaga pernikahan ini agar tetap utuh.

Mulai dari ia memintaku berhenti berkarir, padahal saat itu karirku sedang bagus - bagusnya di kantor, uang belanja yang selalu dijatah pas-pasan, sampai komentar pedas ibu mertua yang tiap kali berkunjung selalu menanyakan aku sudah hamil atau belum.

Kutulikan telinga jika ibu mertua sudah berbicara yang tak mengenakkan hati, juga kulapangkan dada menerima berapa saja uang pemberian Mas Angga padahal aku tahu gajinya lima kali lipat dibandingkan nafkah yang dia berikan setiap bulannya.

Saat sampai di ruang tamu, tiba-tiba bunyi bel bergema memenuhi seisi ruangan. Langkah kakiku seketika terhenti, mungkin orangtua Mas Angga yang berkunjung.

Sebab, rumah kami memang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dan ibunya Mas Angga memang sering berkunjung tiba-tiba.

"Kemarikan kopermu, Dira!" Mas Angga tiba - tiba merebut koper yang kuseret.

"Itu pasti ibu. Kamu mau, penyakit jantung beliau kumat gara-gara melihat kita ribut seperti ini?"

"Malah bagus kalau ibumu tahu, Mas. Biar kubuka sekalian kedokmu agar bukan aku saja yang menjadi bahan hujatannya selama ini!" balasku sengit.

"Kamu memang istri keras kepala, Dira! Inilah bedanya kamu sama Maya. Selain dia selalu nurut, dia juga sanggup memberiku anak!" bentak Mas Angga. Wajahnya tampak merah padam seperti sedang emosi.

Dadaku seperti baru saja dihantam sangat keras saat Mas Angga tega membanding - bandingkan aku dengan perempuan itu.

Sakit sekali rasanya ketika ia mengungkit kekuranganku yang satu itu.

"Oh ya? Baiklah, kalau begitu sekalian saja jatuhkan talakmu atasku, Mas. Jatuhkan!

Toh, kamu sudah mendapatkan semuanya pada diri perempuan murahan itu. Untuk apa lagi kamu menghalangi aku keluar dari rumah ini?"

Mas Angga mengatupkan bibirnya rapat. Tatapan matanya tajam mengawasiku.

"Aku mempertahankan perempuan mandul sepertimu supaya nama baik keluarga besar tidak tercoreng, Dira. Tidak ada satu pun keturunan keluarga Bagus Sudrajat yang bercerai. Suka tidak suka, kamu harus tetap jadi istriku."

"Jangan mimpi! Aku tak sudi dimadu, juga tak sudi hidup seatap dengan laki-laki yang sudah berzina. Haram bagiku untuk kau sentuh, Mas!" balasku dengan sekujur tubuh gemetar karena emosi.

CHAT MESRA DI PONSEL SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang