Pov Dira
"Begini saja, Nduk. Kamu tinggal lah dulu di sini selama beberapa hari sambil merenung. Pokoknya, jangan buru-buru memutuskan cerai. Bapak dan ibu ndak setuju."
Merasakan suasana menjadi tegang, bapak berinisiatif agar kami semua sedikit mereda. Tapi tetap saja, di kalimat akhirnya beliau memberi penekanan agar aku membatalkan rencana perceraianku.
"Masuk dulu ke kamarmu, Ra. Istirahat dulu. Ini sudah malam, besok kita bahas lagi." Ibu berdiri dari duduknya. Gurat tegang di wajah itu masih terlihat meski samar.
Lewat isyarat matanya, Ibu mengajak bapak masuk ke kamar mereka. Meninggalkanku sendirian dalam rasa kecewa yang begitu dalam menghujam dada.
Visi dan misi kami jelas berbeda. Biarlah, jika mereka berkeras dengan kemauannya, aku juga akan berkeras dengan prinsipku. Aku Dira, tak sudi dimadu.
Ini berarti aku harus mulai menyusun masa depanku sendiri. Bukan tak mungkin aku juga akan dimusuhi keluarga sendiri karena tetap ingin berpisah dari Mas Angga.
***
Tok tok tok ...!
Aku terbangun saat mendengar suara ketukan pada pintu kamar. Kulirik sebentar penunjuk waktu yang tergantung pada dinding kamar di depanku.
Pukul sepuluh malam rupanya. Siapa yang mengetuk kamar malam-malam begini? Apakah ibu?
Menguap sambil menutupi mulut dengan tangan, aku menurunkan kedua kaki dari ranjang dan menapak lantai. Agak terhuyung aku ketika berjalan menuju pintu kamar.
Baru sedikit kubuka, aku dikejutkan oleh sebuah dorongan yang sangat kuat hingga hampir saja aku terpental ke tempat tidur. Lampu di kamar tiba-tiba terang benderang.
Dan betapa terkejutnya aku ketika mengenali siapa sosok yang berdiri sambil tersenyum angkuh di hadapanku.
"Mas Angga?" ujarku tak percaya setelah mataku mulai menyesuaikan dengan cahaya yang benderang.
"Mau apa kamu ke sini? Keluar, Mas!" usirku sambil menegakkan tubuh.
Tapi bukannya keluar, Mas Angga justru mengeluarkan tawanya yang mencemooh. Laki-laki itu melangkah maju dengan sikap mencurigakan. Mau apa dia?
Mas Angga tiba-tiba menyergapku, dengan keadaan yang tak siap, aku pun langsung menjerit keras dan berusaha melepaskan diri.
Suara gaduh yang berasal dari barang yang berjatuhan dari kamar, anehnya tak membuat seorang pun anggota keluargaku datang menolong. Paling tidak, menengok ke dalam kamar untuk mengetahui apa yang terjadi.
Mas Angga sudah hampir menguasaiku, ketika aku akhirnya nekar menendang daerah masa depannya dengan kuat. Laki-laki itu meng-aduh kuat sambil memegangi area yang tadi terkena tendanganku.
Berhamburan sumpah serapah dari mulutnya yang menahan sakit. Wajah Mas Angga memerah. Dia tampak sangat murka dan langsung menamparku dengan kuat.
"Oh, tampar lagi, Mas. Ini akan semakin menguatkan posisiku untuk meminta cerai darimu. Ayo tampar, Mas. Tampar!" tantangku sambil menyodorkan pipi ke arahnya.
"AKU TIDAK AKAN MENCERAIKANMU, DIRA! KAU CAMKAN ITU BAIK-BAIK. AYO PULANG KE RUMAH DENGANKU!"
Suara Mas Angga menggelegar memenuhi kamar. Kulemparkan sebuah senyum sinis ke arahnya.
"Kau pikir aku tak tahu Mas, apa alasanmu tak mau menceraikan aku? Itu semata-mata karena kau takut dicoret dari daftar waris, kan?" cebikku.
Wajah Mas Angga makin merah. Lelaki itu mendengkus kasar, kemudian menatapku sambil menyeringai.
"Baguslah kalau kau tahu itu. Sekarang, ayo ikut aku pulang. Ayah sedang di rumah sakit sekarang. Beliau terkena serangan jantung setelah kau pergi. Kau harus bertanggung jawab atas hal ini."
Ucapan Mas Angga sukses membuatku terpelongo. Ayah Mas Angga terkena serangan jantung? Bukankah selama ini ibu mertuaku yang punya riwayat penyakit mematikan itu? Kenapa tidak dia saja yang terkena serangan jantung?
Ah, jahat sekali pikiranku. Tapi kalau ingat pada sikapnya saat membela Mas Angga dan pelakor itu, hati ini sakit sekali rasanya. Hilang sudah rasa hormatku pada wanita yang sebentar lagi akan bergelar mantan ibu mertua itu.
"Kenapa bengong? Ayo, ikut aku sekarang ke rumah sakit. Kamu pikir, siapa yang mau merawat ayah?" Ucapan Mas Angga terasa menyentakku.
"Pertanyaanmu percis manusia yang tak berakhlak, Mas. Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu tentang ayahmu sendiri?" sahutku geram.
"Ayah lebih sayang padamu ketimbang aku, anak kandungnya sendiri. Lagi pula, kamu kan yang membuat ayah sampai seperti ini. Rawat dia, itu sudah jadi tanggung jawabmu," jawabnya sambil melempar tatapan sinis padaku.
"Kamu dengar ya ini, Mas. Aku sama sekali tak keberatan merawat ayah. Tapi yang lebih wajib itu kamu, anaknya." Aku berkata sambil menekan dada Mas Angga dengan telunjukku.
"Katakan saja di rumah sakit mana ayah dirawat, aku akan ke sana sendirian untuk menjenguk ayah. Silakan kamu pergi duluan sana," ujarku lagi.
Sejenak, Mas Angga tak berkata apa pun. Hanya tatapan mata yang menyiratkan kemarahan yang diarahkannya padaku.
"Dasar pembangkang! Kalau kamu berkeras meminta cerai dariku, ingatlah dulu ini. Nasib keluargamu selama ini bergantung pada keluargaku, Ra."
"Yang bergantung adalah mereka, bukan aku. Dan pilihan pun selalu ada, berjuang dengan mengandalkan diri sendiri, atau tetap hidup enak tapi kehilangan harga diri," balasku.
"Terserahlah! Ayah dirawat di Rumah Sakit Pelita ruangan Tulip lantai lima. Hubungi saja Mbak Wina jika kamu hendak ke sana."
Setelah berkata begitu, Mas Angga pun langsung bergegas pergi tanpa menoleh lagi.
Kuletakkan bokong di tepi ranjang tidurku. Kuusap wajah, pikiranku sedang gamang saat ini. Rasa bersalah menyelinap dalam hati, membayangkan kondisi ayah Mas Angga yang entah bagaimana kondisinya saat ini.
Setelah berhasil menetralisir perasaan sendiri, aku pun perlahan bangkit untuk berganti pakaian, bersiap ke rumah sakit. Saat keluar kamar, kudapati ibu dan bapak tampak berkasak-kusuk di depan kamarku.
"Lain kali, tolong hargai aku dengan tidak membiarkan laki-laki sembarangan masuk ke dalam kamarku."
Kata-kata tersebut kuucapkan pelan, tapi cukup membuat bapak dan ibu tampak merasa bersalah. Keduanya tak berbicara sepatah kata pun, sampai akhirnya ojol yang kupesan akhirnya datang dan membawaku melesat menuju Rumah Sakit Pelita.
Tiba di rumah sakit, aku langsung naik ke lantai lima. Meski sudah di luar jam besuk, tapi penjaga rumah sakit mengijinkan aku masuk setelah kukatakan bahwa ayah mertuaku sedang dirawat di rumah sakit ini.
Tapi alangkah terkejutnya aku, ketika kulihat Mas Angga bersama perempuan itu sedang berdiri di depan pintu kamar rawat. Mereka belum menyadari kehadiranku, sebab kedua orang tersebut tampaknya sedang terlibat dalam perdebatan.
Sebenarnya apa yang mereka ributkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
CHAT MESRA DI PONSEL SUAMIKU
RomanceLangsung baca saja ceritanya, gak perlu baca deskripsi ini, Sobbbbbbbbb!!!! Selamat bermesraan! akakkakakak