Part 5

8.7K 229 7
                                    

Pov Dira

"Ayah jangan keterlaluan begitu sama anak sendiri! Bukan Angga yang nggak mau mempertahankan pernikahannya, tapi Dira yang terlalu angkuh mengakui kelemahannya." Ibu memprotes kata-kata ayah.

"Ibu benar, Yah. Jangan begitu terhadap Mas Angga. Dira mohon maaf jika selama menjadi menantu, Dira pernah berbuat kesalahan, Yah. Sekarang Dira pamit," imbuhku seraya berjalan mendekati ayah lalu mencium tangannya khidmat.

Ibu mendengkus saat aku hendak menyalami tangannya. Sikap penolakannya itu tetap saja menggoreskan perih di sini. Seolah tak ada baktiku selama ini sebagai menantunya.

"Segera urus perceraian kita, Mas. Biar kamu bisa segera meresmikan pernikahanmu dengan Maya."

Senyum kemenangan menguar dari bibir perempuan itu. Mungkin dia merasa hebat, telah berhasil membuatku pergi dari rumah ini dan keluar sebagai pecundang.

Nikmatilah kemenanganmu, Maya. Asal kau tahu, sekali berkhianat, seorang laki-laki tetap akan mengulangnya. Kita lihat sampai sejauh mana cinta yang kau agungkan di atas kecurangan itu bisa bertahan.

Aku tersenyum sinis melihat ke arah wanita dengan perut buncit itu. Ayah pun tak kuasa lagi mencegah sebab aku benar-benar berkuat tak ingin tinggal.

Bagiku, harga diri adalah yang paling penting. Jika memang Mas Angga menghargaiku, tidak mungkin dia diam-diam menikah lagi. Entah di mana dia mengenal perempuan itu, aku sudah tak peduli lagi.

Kunaiki taksi online yang sudah menunggu di depan komplek. Tujuanku tentu saja pulang ke rumah orangtua. Mereka lah satu-satunya yang menjadi tempat tujuanku saat ini.

Saat dalam perjalanan, ponselku berbunyi karena ada yang menelepon.

Mas Angga? Mau apa lagi, dia?

Aku lebih memilih mengabaikan dan tak menjawab panggilannya.

Karam sudah rumah tangga kami. Ternyata, sedangkal itu cinta yang selama ini selalu ia gaungkan di telingaku. Diam-diam ia hadirkan orang ke tiga dalam biduk yang kami kayuh bersama.

Layaknya sebuah kapal yang kelebihan muatan, ia pun oleng dan karam sebelum mencapai tujuan. Anak hanyalah sekedar alasan untuk membenarkan perbuatan selingkuhnya.

Tanpa sadar aku meremas dada. Terasa denyut nyerinya di sini. Ah, ternyata aku masih bisa merasakan sakitnya luka sebuah penghianatan.

***

"Loh, Ra? Kok datang malam-malam? Mana suamimu?" sambut ibu begitu aku turun dari taksi dan langsung berlari sambil menyeret koper menuju teras.

Aku langsung menubruk ibu dan memeluknya erat. Menumpahkan tangis di dadanya, seperti kebiasaanku sejak kecil dulu jika sedang ada masalah.

"Loh, Dira? Kenapa ini kok pulang-pulang nangis?" Bapak menyusul keluar, menatap aneh padaku yang memeluk ibu erat.

"Ayo masuk dulu, Ra. Malu nanti dilihat orang," ajak ibu sambil menarik tanganku masuk ke dalam rumah kami. Sementara bapak menyeret koperku, mengikuti langkahku dan ibu.

Berurai airmata, kuceritakan apa yang telah terjadi. Betapa aku sangat hancur dan terluka merasa harga diri ini diinjak-injak oleh Mas Angga serta perempuan selingkuhannya.

"Perempuan itu sedang hamil besar, Bu. Dan diam-diam, rupanya mereka sudah menikah siri. Lebih baik Dira berpisah, daripada hidup dimadu." Aku berujar seraya mengesat airmata dengan sehelai tisue.

Ibu dan bapak saling bertukar pandang, keduanya terlihat bingung harus mengatakan apa. Tapi jelas tersirat luka di mata keduanya. Mana ada orangtua yang tega anaknya disakiti.

"Dulu mereka memintamu baik-baik dari kami, dan Ibu nggak menyangka, Angga akan setega ini sama kamu, Ra. Tapi masalah perceraian, apa nggak sebaiknya dipikir dulu masak-masak, Ra?"

Ibu akhirnya mengutarakan pendapat setelah beberapa saat terdiam. Rupanya, jeda yang ada beliau gunakan untuk berpikir, memilah kata-kata yang pas untuk disampaikan padaku.

"Ibumu benar, Ra. Pikirkanlah dulu matang - matang. Kalau kamu cerai, bukankah pelakor itu akan senang dan menari-nari di atas penderitaanmu? Jangan turuti emosi. Tak sedikit pula wanita yang dimadu di dunia ini.

Duniaku serasa berputar mendengar ucapan bapak barusan. Bagaimana bisa beliau tega berucap begitu padaku, anak kandungnya sendiri?

"Tidak, Pak. Dira tetap akan bercerai. Dira masih punya harga diri, Pak ... Bu," jawabku tegas.

Kecewa menggelayuti pikiran. Tak menyangka, tempat yang tadinya kukira akan menemukan dukungan dan kehangatan, nyatanya tak ada bedanya dengan sikap ibu Mas Angga.

"Kamu jangan egois, Ra. Selama ini ekonomi keluarga kita disokong penuh oleh keluarga Bagus Sudrajat. Tanpa bantuan keluarga mereka, mungkin ayahmu ini sudah lama jadi pengangguran. Adikmu Syifa tak mungkin bisa merasakan bangku kuliah.

Mengalah lah sedikit, tekan ego dan harga diri yang kamu junjung tinggi itu. Bagaimana pun juga, kedudukanmu lebih tinggi jika dibanding istri siri suamimu itu."

Ibu berbicara panjang lebar. Yang pada intinya, beliau turut mendukung pendapat bapak.

Airmataku seketika surut. Berganti amarah serta kecewa yang menggores dalam di hati dan jiwaku.

Kedua orang yang selama ini kusayang, ternyata tak lebih dari sekelompok kapitalis yang menghitung segalanya dari sisi untung rugi tanpa mempedulikan harga diri.

"Dengarkan kata Bapak dan ibu, Dira. Jangan bercerai. Ibu yakin, cintanya Angga pada perempuan itu hanya sementara. Tak kekal. Kamu juga harus berusaha lebih keras agar bisa segera hamil. Biar disayang suami dan mertua."

"Allahu Akbar ... sadarkah Ibu pada yang Ibu katakan barusan? Aku ini anak perempuan Ibu. Kita ini sama-sama perempuan. Kenapa Ibu berbicara seolah perempuan diciptakan hanya untuk dijadikan mesin pencetak anak?"

Aku benar-benar tak habis pikir pada pola pikir kedua orangtuaku. Tak usah ditanya bagaimana perasaanku saat ini. Lebih dari sekedar kecewa, pastinya.

Semua ini karena mereka terlalu menggantungkan hidup pada keluarga besar Bagus Sudrajat, bapak mertuaku. Sehingga ketika mendengar aku hendak bercerai dari putra pengusaha kaya tersebut, mereka mendadak panik.

Bapak dan ibu takut kehilangan semua fasilitas dan kenyamanan yang selama ini mereka dapatkan dari keluarga suamiku.

Sadarlah aku sekarang, bahwa pulang ke rumah ini bukanlah pilihan yang tepat. Pikiran bapak dan ibu telanjur dicekoki oleh sesuatu yang bernama materi.

Tidak. Aku tak akan menuruti apa kata mereka. Aku akan tetap memegang teguh apa yang sudah menjadi pilihanku. Pantang bagi seorang Dira untuk menjilat ludahnya sendiri.

CHAT MESRA DI PONSEL SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang