Hamdi membuka matanya dengan perlahan. Di matanya, ia melihat pendar cahaya putih yang melewati matanya, memaksanya untuk terbangun dari tidurnya yang lelah. Sambil mengucek matanya, ia melihat ke sekelilingnya. Dan tersadar akan keanehan yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak dimana-mana. Bukan di Times Square atau bagian manapun dari kota New York. Ia kembali ke suatu ruang hampa yang pernah ia alami. Entahlah, itu hanya dugaannya.
Hamdi kembali melihat sekeliling. Ruang itu berwarna putih, dan nampak seperti stasiun Grand Central. Namun jauh lebih sepi dan tenang. Tanpa kereta, tanpa iklan, dan tanpa keramaian. Semilir angin berembus dengan aroma yang menenangkan. Anehnya, tak ada kereta disana. Hanya ada beberapa rel dan kursi taman. Ada satu pertanyaan yang ingin ia utarakan sekarang:
Apakah dia ada di surga sekarang?
Kalau jawabannya ya, baguslah, batin Hamdi sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar. Ini adalah tempat yang persis ia ingin. Sebuah tempat yang sepi dan tenang. Tempat ia bisa beristirahat, entah sambil membaca buku, menikmati hasil usaha perjuangannya setelah perang di New York.
Namun, sesuatu terasa janggal di benak Hamdi. Pikirannya terus melayang pada teman-temannya saat masih hidup. Ia memikirkan nasib Linda Paka dan adiknya, yang mungkin sedang menangis tersedu sekarang. Ia memikirkan Nelson dan yang lainnya, yang terluka berat ataupun syok akan kematiannya. Ia memikirkan nasib kota New York yang berada di ujung tanduk. Dan ia memikirkan Fikri Hulu, cemas jika ia masih hidup.
Intinya, ini bukan saat yang tepat untuk mati. Ada banyak masalah yang Hamdi tinggalkan dan masih belum di selesaikan. Semua orang membutuhkannya sekarang. Dan Hamdi mati seolah-olah kabur dari masalahnya seperti seorang pengecut. Itu benar-benar tidak adil. Ia ingin bisa kembali hidup sekarang, namun itu tak mungkin. Itu adalah paradoks. Itu merupakan suatu hal yang tidak dapat dipikirkan dengan akal sehat. Ia tak bisa memungkirinya lagi.
Dengan pikiran yang berkecamuk, Hamdi mengambil sebuah tempat duduk. Ditangannya, tiba-tiba ia menggenggam sebuah pedang. Entah pedang apa itu, dan kelihatannya seperti tanda kehormatan. Tapi, pedang itu terasa familiar di tangannya, dengan gagang berwarna hijau dan batu rubinya. Ia teringat sesuatu, bahwa pedang itu sebenarnya pedang yang digunakan Fikri Hulu untuk percobaan pembunuhannya. Aneh.
Sekejap, seorang wanita duduk beberapa senti disamping Hamdi. Hamdi terkejut akan keberadaan wanita yang misterius itu. Wanita itu memakai jas putih yang senada dengan celana panjangnya. Rambut coklatnya tergerai di punggung. Ia terlihat sangat tenang dan menerawang ke arah rel. Ia memandang ke arah Hamdi dengan tatapan mata biru tuanya yang indah, namun juga menusuk.
Karena keterkejutannya itu, Hamdi meloncat dari kursinya. Pedangnya menghilang dari tangan. Ia mengambil pistolnya dari jasnya (yang ia baru sadari bahwa ia telah memakai setelan jas abu-abu, bukan seragam NASA-nya) dan mengarahkannya ke arah tubuh wanita itu. Tangannya sedikit bergetar, menunjukkan ketakutan.
“Who are you?” tanya Hamdi.
Wanita itu berdiri mendekati Hamdi. Hamdi berjalan mundur dengan perlahan. Namun perempuan itu memegang pistolnya, dan menurunkannya dari pandangan. “Tenanglah, aku tidak akan menganggumu. Mari kita duduk, akan kujelaskan semua yang kau ingin tanyakan.” katanya.
Hamdi, masih dengan setengah tidak percaya, memasukkan pistolnya kembali ke dalam saku jas. Ia melangkahkan kakinya dan mulai duduk di kursi taman yang tersedia. Begitu pula dengan wanita tersebut. Hanya saja, mereka berdua duduk agak berjauhan. Hamdi di sudut terkanan dan wanita itu di sudut sebaliknya.
Keheningan mulai terasa. Saat-saat itu terasa tak mengenakkan. Jadi Hamdi berinisiatif untuk memulai pembicaraan. Ia mendeham. “Jadi, siapa sebenarnya anda?” tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New York, We Have a Problem
AdventureHamdi hanyalah seorang pilot NASA biasa yang menjelajah antariksa demi pekerjaannya. Semua itu berjalan dengan lancar. Hingga suatu saat dua alien setengah manusia yang misterius masuk ke dalam kehidupannya, dan mulai mengacaukan seluruh hidupnya. H...