Bonus Chapter: Photograph (2/2 End)

602 59 28
                                    

"Dia sadar."

Nelson mulai membuka matanya dengan perlahan. Ia mengucek matanya sambil berusaha memfokuskan pandangan di depannya. Putih, dengan lampu neon putih panjang diatasnya. Bau obat bius berseliweran di sekitarnya. Di pandangannya yang mulai memfokus, ia melihat ranjang-ranjang rumah sakit. Di samping kiri dan kanannya, ia bisa melihat Jimmy dan Nindi berdiri dengan wajah setengah cemas dan gembira.

"Hola mi querido amigo! (bahasa Spanyol: Halo, temanku!)" Nindi tersenyum usil sambil mengangkat topinya.

Nelson melihat ke sekelilingnya. Dia berada di rumah sakit. Atau lebih tepatnya, ruang gawat darurat. Ia ingin menggaruk kepalanya meskipun tak terasa gatal. Namun ia merasa sesuatu yang berbeda mengelilingi dahinya. Ia mulai merabanya dan sadar bahwa ada kain kasa d isekeliling dahinya sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi?

Nelson menggelengkan kepalanya sambil melongo. "Jimmy, Nindi, apa yang-"

"Apa yang terjadi dengan dirimu hingga kau ada di sini sekarang?" kata Jimmy dengan cepat dan datar. "Kau pingsan selama 5 jam."

"Pingsan? Tapi ba-"

"Bagaimana hal itu bisa terjadi? Tentu saja bisa," potong Jimmy. "Entah kenapa, mungkin kau melamun, kau menabrak tiang jalan dengan keras. Lalu jatuh pingsan. Dahimu banyak berdarah. Jadi kami membawamu ke rumah sakit."

Nindi memutar topinya. "Beberapa jam yang lalu aku menelepon Novia dan Ratna," katanya. "Namun Novia sedang di Massachusetts, mengurus tugasnya di Harvard. Sedangkan Ratna di California, mendatangi penerbitnya untuk peluncuran bukunya. Kutelpon Nash, ia masih di LA. Sedangkan Amelia dan sisanya tidak bisa ditelepon. Jadi begitulah, cuma aku dan Jimmy,"

Nelson masih tidak percaya apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia masih meraba-raba lukanya yang kembali terasa nyeri. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum jatuh pingsan. Ya, ia ingat bagaimana ia melamun tentang Hamdi dan berlarut-larut didalamnya. Lalu terdengar suara "bruk" dan semuanya gelap. Hingga ia berakhir di rumah sakit sekarang. Menyebalkan, batin Nelson.

"Tiga jahitan di dahi dan sedikit bagian hidung. Untung tidak sampai dagu. Kalau tidak, kau akan lebih terlihat seperti Paul Walker." canda Jimmy sambil membetulkan dasi birunya.

"Masih ingat kejadian Fauzi dulu? Ketika ia menabrak lemari kaca dan mendapat luka dari dahi hingga dagunya? Persis seperti Paul Walker. Nasibnya sama sepertinya Walker, jadi bintang Holywood." kenang Nindi sambil tersenyum kecil.

Nelson tertawa lepas. Namun ia kembali teringat dengan Hamdi, saat Hamdi tewas di tempat kejadian. Wajah Hamdi memiliki luka memanjang di pelipis kanannya. Nelson meraba kembali lukanya dengan tangan setengah bergetar. Hamdi, batin Nelson. Ia segera beranjak dari kasur rumah sakitnya dan membetulkan dasinya. Ia memasang jasnya dan berjalan menuju pintu keluar.

"Hei, hei! Whoa, mau kemana kau, Nelly Johnny?" panggil Jimmy dengan setengah panik.

"Kalian berdua harus menemaniku sekarang." kata Nelson.

"Tapi kemana?" tanya Nindi.

"Kalian akan tahu."

Jimmy dan Nindi saling berpandangan. Apa boleh buat. Mereka pun mengikuti Nelson keluar dari ruang gawat darurat, dengan dasinya yang masih memiliki bercak darah. Mereka bertiga berjalan cepat melewati Central Park, dan pikiran Jimmy teringat pada sesuatu tempat yang ia kenal. Jangan-jangan Nelson akan ke sana, pikirnya.

Kemudian, mereka bertiga berhenti di depan sebuah pintu gerbang. Pintu gerbang itu terlihat suram. Dengan pohon-pohon yang terlihat lesu. Juga suara orang menangis tersedu-sedu terdengar seperti gema. Nindi memegangi lehernya dengan tidak nyaman. Jimmy meneguk ludahnya. Mereka sadar, itu adalah sebuah pemakaman.

New York, We Have a ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang