Beberapa saat kemudian di salah satu gerai Wal-Mart di New York, sebuah tim berpencar. Mereka mulai melakukan tugas mereka masing-masing untuk menyelamatkan New York dari serangan alien, Fikri Hulu. Sebagian memburu informasi akan keadaan New York terkini dan keberadaan Fikri Hulu melalui laptop mereka. Sebagian memperbaiki dan mempersiapkan senjata-senjata dan mengisi amunisi. Dari semua itu, hanya seseorang yang tak melakukan apapun.
Hamdi. Duduk termenung di sebuah kursi di depan pintu gerbang Wal-Mart. Matanya menerawang keluar. Memandangi keadaan sekelilingnya yang buruk. Seperti sedang melamun, atau merencanakan sesuatu. Di dalam pikirannya, ia memikirkan bagaimana dia dan teman-temannya masuk ke dalam pesawat antariksa milik Fikri Hulu, melewati dan menupas barisan penjaganya, dan mendapatkan kembali suatu benda yang terus diperebutkan, DZ201. Sebuah bola yang memiliki kekuatan yang sangat besar, dan dapat menghancurkan atau menyelamatkan kota New York.
Di depan Hamdi, Nindi berdiri dengan jaketnya yang setengah robek. Melirik pada Hamdi sejenak dengan wajah datarnya seperti biasa. Lalu mengalihkan pandangannya kembali ke dalam notebook-nya. Menggambar di tengah catatan-catatan rencananya, seperti biasanya. Di sampingnya, Lina Pene duduk, menepuk-nepuk tangannya dengan kegirangan. Seolah-olah ada sesuatu yang lucu baginya. Barangkali karena kucing mati yang berada di sampingnya.
Tiba-tiba, dari arah gudang, dua orang berlari ke arah Hamdi. Jimmy dan Amelia, dengan wajah tegang mereka berhenti tepat di depan Hamdi, Nindi, dan Lina Pene. Mereka berdua hampir terpeleset. Kerennya, mereka mengerem kecepatan mereka seperti sedang bermain ice skating dengan sepatu mereka yang beralas tipis. Nindi memandang mereka berdua setengah kagum.
“Oh. Cara mengerem yang bagus.” Kata Nindi seraya memperhatikan alas sepatunya sendiri.
Jimmy terlihat bangga mendengar itu dan membetulkan jas abu-abunya. “Trims. Aku sudah...”
“Diamlah, idiot,” potong Amelia dengan cepat. Jimmy langsung memelototinya dengan kesal. Namun Amelia tak memperdulikannya karena hubungan mereka berdua selalu seperti itu. Selalu dipenuhi oleh ejekan dan cercaan yang aneh. Ia memiringkan kepalanya pada Hamdi. “Hamdi, mungkin ada sesuatu yang harus kau lihat sekarang.”
Hamdi dan Nindi saling berpandangan dengan kebingungan. Jika dilihat dari raut wajah kusut Amelia saat ini, ini tidak seperti biasanya. Ada masalah. Masalah yang benar-benar serius. Hamdi, Nindi, dan Lina Pene segera beranjak dari tempat berdiri mereka. Berjalan cepat mengikuti Jimmy dan Amelia menuju ruang tengah Wal-mart yang telah disulap menjadi markas B-Team, untuk sementara.
Tiba-tiba, mata Hamdi terkunci pada Nelson, yang kini memakai kacamata berbingkai tipis. Masih dengan jas hitamnya dan rambut hitamnya yang dipotong agak pendek. Membuatnya terlihat seperti Jason Grace di Heroes of Olympus (Itu pendapat Ratna). Ia melambaikan tangannya pada Hamdi. Wajahnya tersenyum hangat, seolah-olah ia telah lupa akan pertengkarannya dengan Hamdi.
“Hei, Hamdi. Mungkin kau harus melihat yang satu ini.” katanya.
Hamdi berjalan cepat ke arah Nelson. Di sampingnya, Alina dan Nida duduk di depan laptop mereka masing-masing. Meneliti laporan yang mereka pegang. Hamdi menunduk di tengah-tengah Alina dan Nelson.
“So, what’s the problem?” tanya Hamdi. Alina mengarahkan kursor laptopnya ke arah sebuah radar.
“Kami baru saja mendapatkan sinyal radiasi yang kuat di 6th Avenue. Entahlah, aku curiga kalau itu adalah Fikri Hulu.” jawab Alina. Nida mendekatkan laptopnya ke arah ketiga temannya. “Ini adalah kondisi di Times Square setelah invasi tersebut. Baru saja terjadi. Sekitar pukul 17.15.” kata Nida. Semuanya mengerubungi Nida, membuat Nida tidak bisa melihat layar laptopnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
New York, We Have a Problem
PertualanganHamdi hanyalah seorang pilot NASA biasa yang menjelajah antariksa demi pekerjaannya. Semua itu berjalan dengan lancar. Hingga suatu saat dua alien setengah manusia yang misterius masuk ke dalam kehidupannya, dan mulai mengacaukan seluruh hidupnya. H...