Pukul 01.00 pagi. Hamdi tertidur dengan pulas di ruang interogasi FBI. Guling dan selimutnya berantakan. Terkadang, ia mendengkur dan meneteskan liurnya di bantal empuknya. Dia seperti sedang tidur di hotel bintang lima saja. Dengan kasur yang ekstra empuk dan televisi dengan tayangan 360 saluran di seluruh dunia. Sudah bisa disimpulkan, ia benar-benar kelelahan.
Sebenarnya, kemarin teman-temannya mau menginterogasinya. Tapi, apa boleh buat. Hari itu sudah benar-benar larut. Banyak teman-temannya yang masih menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Dan tambahannya, Nelson sudah menemukan Hamdi tertidur di lantai ruangan.
Hamdi membuka dan menggosok matanya. Ia merenggangkan badannya, berusaha bangun dari tidurnya yang lelap. Ia melihat badannya sudah diselimuti dan di sampingnya ada bantal. Tunggu dulu, sepertinya aku tidak memakai selimut tadi, pikir Hamdi dalam hati yang setengah tersadar dari tidurnya. Lalu, siapa yang memberikan selimut itu? Jangan-jangan...
“Sudah bangun, di?” Tanya suara dari sampingnya.
“Siapa itu?!” Hamdi kaget. Ia langsung menodongkan bantalnya pada sumber suara itu dengan rambutnya yang masih acak-acakan.
Itu bukan siapa-siapa. Itu hanya sahabatnya, Nelson. Yang kini telah melepas jas hitamnya dan memainkan laptop miliknya di meja interogasi. Rambutnya acak-acakan, kemejanya setengah keluar, dasinya dilonggarkan, dan matanya sedikit berkantung. Lengkap dengan berkaleng-kaleng Diet Coke. Dia seperti orang yang belum tidur selama berhari-hari. Hamdi segera beranjak dari lantai dan duduk di kursi yang berada di depannya.
“Sudah berapa kaleng yang kau minum, Nel?”
Nelson tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan terus mengetik.
“Itu bukan cara yang bagus untuk mengawali percakapan ketika baru bangun tidur, Di. Tapi kalau soal pertanyaan itu, aku baru minum dua kaleng.”
Hamdi memutar bola matanya. Lelucon yang enggak lucu, kata Hamdi dalam hati
“Kau tidak tampil?”
“Ini hari Minggu pagi, sobat. Kau lupa, ya? Aku kan, cuma tampil hari Senin sampai Jum’at.”
Hamdi tertegun. Minggu? Tanya Hamdi dalam hati dengan bingung. Bukannya aku sudah tidur semalaman? Pasti sekarang sudah siang. Hamdi menengok ke jendela ruang interogasi. Ia salah. Di luar masih gelap gulita. Lampu-lampu bertebaran dimana-mana. Taksi dan mobil berlalu-lalang di jalan raya. Yang terdengar hanyalah bunyi klakson mobil yang meraung-raung berbaur dengan bunyi jangkrik. Hamdi kembali ke tempat duduknya sambil memperbaiki rambut dan dasi merah bajunya.
“Pukul berapa sekarang?” Tanya Hamdi.
Nelson kembali tidak memperdulikannya. Ia terus mengetik, mengetik, dan mengetik. Hamdi mengigit bibirnya dengan tidak sabar. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Nelson masih belum menjawab pertanyaanya. Dengan kesal, Hamdi melemparkan kaleng Diet Coke yang sudah kosong ke kepala Nelson. Tepat sekali.
Tukk!!
“Aduh!”
Nelson menggosok-gosokkan kepalanya sambil mengerang kesakitan. Ia tersadar, ada Hamdi di depannya. Wajah Hamdi memerah karena kesal pertanyaannya tidak dijawab.
“Apa?” Tanya Nelson dengan tidak merasa bersalah sedikit pun sambil mengangkat bahu dan tangannya. Hamdi menepuk dahinya.
“Aku bilang, pukul berapa sekarang, Nelson Jonathan?” Hamdi mengulangi pertanyaannya dengan lambat-lambat. Nelson menengok ke jam tangannya.
“Pukul... 01. 26 pagi.”
“Jadi, ini masih Minggu pagi? Lalu harus apa aku sekarang? Aku tidak ngantuk!”
KAMU SEDANG MEMBACA
New York, We Have a Problem
AdventureHamdi hanyalah seorang pilot NASA biasa yang menjelajah antariksa demi pekerjaannya. Semua itu berjalan dengan lancar. Hingga suatu saat dua alien setengah manusia yang misterius masuk ke dalam kehidupannya, dan mulai mengacaukan seluruh hidupnya. H...