Gelap.
Seberkas cahaya yang menyilaukan menyinari mata Hamdi. Hamdi langsung terbangun. Dia masih di pesawatnya, Spaceship One. Ia langsung mengucek matanya dan merapikan rambutnya. Wajahnya hitam legam, seperti barusan menjadi korban ledakan bom atom. Ia terkena debu dan abu dari luar. Mimpikah aku? Barusan saja pesawat ini seperti jatuh dari langit, pikir Hamdi dalam hati. Sepertinya, Linda Paka dan Lina Pene bisa menjelaskan apa yang terjadi.
Hamdi membalikkan badannya dan berdiri. Tidak ada mereka di sana. Hamdi mendecak, ah, kemana lagi mereka? Ia kembali ke meja kendalinya, dan menatap apa yang ada di depannya. Dinding. Ya, hanya dinding.
“Berarti, aku di sudah bumi. Lalu dimana aku?” Tanya Hamdi pada dirinya sendiri.
Hamdi membuka pintu pesawatnya yang mengeluarkan asap bercampur kabut. Ia melihat pesawatnya dari luar. Benar-benar kacau. Pesawatnya telah tertabrak sebuah dinding bangunan. Dan mesin pesawatnya mengeluarkan asap hitam pekat. Satu pertanyaan aneh yang harus dilontarkan: Mengapa orang-orang di sini tidak sadar bahwa ada pesawat antargalaksi yang sudah menghancurkan sebuah sisi dinding gedung?
Hamdi menatap ke atas. Gedung dan apartemen menjulang tinggi. Langit biru terang. Layar-layar televisi dan poster bertebaran dimana-mana. Taksi dan bus berlalu-lalang dan silih berganti melintasi jalan raya. Ia menatap sekeliling, lalu menengok jamnya.
Pukul 08.13 pagi. Berarti, sudah semalaman ia sampai di bumi. Hamdi sadar, ia ada di tengah kesibukan kota New York, Times Square. Hamdi mengambil ransel dan topi kaptennya, lalu berjalan keluar sambil berusaha mencari taksi. Meninggalkan pesawatnya yang rusak berat.
“Houston 2 jam dari sini. Pertama aku harus ke New York Penn Station, mengambil kereta ke Houston, dan menceritakan apa barusan terjadi kepada NASA.” Hamdi membeberkan rencana pada dirinya sendiri. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Hamdi berbalik dengan cepat.
“Hamdi? Are you Ikhlasul Hamdi? Do you still remember us?” Seorang perempuan dengan rambutnya yang diikat belakang menanyainya. Hamdi mengerutkan dahinya. Ia yakin pernah melihat perempuan itu. Sepertinya ia berasal dari masa lalunya. Tiba-tiba ia tersadar sesuatu.
“Nindi? Kau pasti Nindi, kan? Yang sering memotret teman-teman denganku?”
“Nah, gitu dong! Kok baru ingat sekarang sih!”
Hamdi dan Nindi saling bersalaman. Nindi langsung memukul lengan Hamdi, kebiasaan yang selalu dilakukannya ketika masih SMP. Hamdi tertawa. Ia gembira bisa bertemu kawan lamanya. Yang juga menjadi partner fotografernya ketika SMP. Disamping Nindi, seorang perempuan yang lebih tinggi menatapnya tajam.
“Kau pasti melupakanku, kan?” Tanya perempuan itu.
“Ya iyalah nggak! Pasti kamu Veronica, kan?”
Perempuan itu bukan tersenyum. Justru wajahnya lebih mengerut lagi. Nindi menahan tawanya. Ia sengaja tidak memberitahu siapa perempuan itu pada Hamdi.
“Arrrghhh!” Perempuan itu menepuk dahinya dengan keras.
“Oh ya, pasti kamu Ratna, kan?”
Perubahan 360 derajat. Perempuan itu langsung tertawa dan memukul lengan Hamdi. Ya, dia memang Ratna.
Hamdi melihat tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi pada teman-temannya. Nindi, yang dulu sering disebut Lina dan Hamdi “Seseorang yang hidup terlalu formal”, kini menjadi seorang wartawan. Ia memakai jas coklat, dengan dasi bergaris hitam dan name tag wartawannya di FOX News. Juga dengan topi National Geographic-nya yang menutupi rambutnya dan kamera yang menggantung di lehernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New York, We Have a Problem
AventureHamdi hanyalah seorang pilot NASA biasa yang menjelajah antariksa demi pekerjaannya. Semua itu berjalan dengan lancar. Hingga suatu saat dua alien setengah manusia yang misterius masuk ke dalam kehidupannya, dan mulai mengacaukan seluruh hidupnya. H...