Chapter 9: Helicopter

951 131 19
                                    

Hamdi menatap lekat-lekat mata coklat penolong itu. Mengingatkannya pada dua tahun yang lalu. Pesawatku ditembak jatuh oleh agen rahasia, pikir Hamdi. Di sebuah padang pasir. Tanpa air. Tanpa makanan. Tanpa koordinat. Tanpa teman atau kolega. Jika sampai sebulan saja aku disana, aku akan gila. Namun, ia datang. Masih dengan senyuman hangatnya. Ya, sama seperti hari ini. Hamdi turun dari tangkapan orang itu dan menjabat tangannya. Tersenyum hangat.

“Agen Phil Coulson, sungguh. Aku berhutang padamu, lagi.”

“Ah, itu tidak apa-apa. Seorang teman memang harus seperti itu.” Jawab orang yang dipanggil Agen Phil Coulson itu sambil tersenyum lebar.

Hamdi menengok ke langit, bingung. “Ngomong-ngomong, Phil, dimana teman-temanku?”

Phil menunjuk ke atas. Teman-temannya berguguran dengan pelan dari gedung, seperti daun kering yang berguguran di tangkainya. Hamdi hampir terpekik seperti seorang wanita. Namun Phil segera membekap mulut Hamdi. Ia terlihat santai sekali sembari memakai kacamata hitamnya dan memasukkan tangan ke sakunya.

“Tenanglah, sobat.  Aku sudah menjamin keselamatan mereka.”

Teman-temannya tidak jatuh ke tanah. Namun melayang-layang di langit. Seperti ada kasur tak kasat mata menahan mereka. Hamdi mengerjapkan matanya dan melongo. Phil mengeluarkan sebuah remote kecil dari sakunya. Tiba-tiba, sebuah kasur tak kasat mata berubah menjadi kasat mata. Ya, tepat seperti dugaan Hamdi.

Semuanya terhempas dengan keras namun lembut. Memantul-mantul di atas kasur itu. Teman-temannya perlahan-lahan membuka dengan badan sedikit bergetar. Ketakutan kalau mengetahui mereka sudah mati atau belum. Novia memegangi kepalanya dan mengerang keras.

“Astaga, apakah aku sudah mati?” Tanyanya dengan kebingungan.

Ratna mendekatinya dengan alis setengah terangkat. “Bukan, bung. Kita masih di NYC dan kita hidup.”  Katanya dengan nada menggerutu.

Tiba-tiba, terdengar suara menderu dari atas. Semuanya mendongak ke atas. Helikopter. Baling-baling dari helikopter itu berputar dengan cepat. Menerbangkan serpihan-serpihan kaca dan meniup pelan rambut semua orang. Helikopter berwarna hitam itu mendarat, dengan logo siluet burung elang hitam.

Logo SHIELD.  Strategic Homeland Intervention, Enforcement and Logistics Division. Sebuah badan intelejen rahasia Amerika Serikat yang juga tempat bekerjanya Phil. Sebuah badan intelejen yang benar-benar rahasia. Bahkan tidak ada yang tahu letak persis markasnya. Hanya satu kata yang dapat menggambarkan semua hal yang berkaitan dengan itu: classified. Rahasia.

Teman-teman Hamdi hanya bisa melongo melihat helikopter itu. Sudah diduga, Hamdi merencanakan itu semua. Mulai dari mengebom jendela tersebut, hingga terjun dari ketinggian 850 kaki. Sepertinya apa yang dikatakan Nindi sebelumnya salah. Dia tidak gila. Memang. Cuma bisa dibilang,  “genius”.

Hamdi menyeringai kecil sambil mengendikkan kepalanya.

Shall we go now?”

Booom!

Asap menggantung di sekitar kepala Hamdi dan teman-temannya. Mereka segera berbalik. Melupakan keberadaan asap pekat hitam itu. Seseorang berdiri tepat di tepi jendela lantai 3 dari 30 Rockefeller yang telah di bom. Dengan jubah hitamnya dan para pasukannya. Menyeringai di balik pistolnya. Fikri Hulu. Lebih mengerikan dan jelek daripada sebelumnya.

“Kau tak akan pergi jauh, Little Captain!”

 Dor-dor-dor-dor! Para pasukan Fikri Hulu melancarkan rentetan tembakan laser ke arah Hamdi. Hamdi dan teman-temannya berguling ke bawah, berlindung dari terjangan tembakan. Dari atas helikopter, tiba-tiba Phil berseru. Berusaha menggapai tangan Hamdi di bawah.

New York, We Have a ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang