Demit Meresahkan

2.2K 145 21
                                    

"Oh, jadi ini menantu Bu Marni yang dari kota itu?"

Aku tersenyum sambil mengangguk, lalu membuka catatan yang diberikan ibu mertua. Dahiku mengernyit saat melihat tulisan di sobekan kalender ini.

Jemprit 2000?
Tomat 3000?
Terasi 1000?

Ini serius beli segini? Ya ampun, bisa-bisanya uang receh buat beli makanan.

"Mau beli apa, Cah Ayu?"

Aku mengangkat wajah, saat mendengar sapaan halus dari warung yang dikerumuni oleh pembeli lainnya.

"Beli ... jem-prit, Bu."

"Berapa, Cah Ayu?"

Aku melirik wadah yang diambil isinya oleh penjual tersebut. Oh, jemprit itu cabai rawit?

"Cah Ayu?"

"Eh, iya." Aku menggaruk kepala yang tertutup jilbab ini, malu banget rasanya bilang mau beli 2000. "Kalau sewadah gini harganya berapa, Bu?"

"Ha?"

Suara terkejut bukan hanya terdengar dari sang Penjual, tetapi dari beberapa ibu-ibu yang berada di sana. Kenapa mereka?

"Mau mborong semua?" tanya penjual yang rambutnya tertutup penutup kain hitam, seperti kupluk.

"I-ya."

"Ini mungkin ada 15kg-an lho, Cah Ayu. Tenan mau ambil semua?"

Apa itu tenan? Ya ampun, aku lupa bawa ponsel buat translet bahasa.

"Oh, mungkin Bu Marni mau punya hajat," ucap salah satu ibu-ibu di sana.

"Mau syukuran sapinya yang manak minggu kemarin mungkin," timpal yang lain.

Manak? Apalagi itu?

"Tolong bungkus semua saja, Bu. Sekalian ... tomat dan terasi," ucapku setelah membaca catatan sekali lagi.

"Sewadah juga?"

Aku mengangguk.

Ibu penjual tampak bingung saat membungkus semua pesananku. Tetapi tangannya cukup cekatan, hingga tak perlu waktu lama untuk menunggu.

"Totalnya 455.000, Cah Ayu."

Aku langsung membuka dompet dan seketika mataku membulat, aduh uangnya kurang. Aku memang jarang bawa uang tunai banyak-banyak, sementara di sini semua transaksi hanya pakai tunai. Aku merogoh saku, melihat uang yang diberikan ibu mertua tadi hanya sepuluh ribu.

"Maaf, Bu. Apa bisa bayar pakai kartu?" tanyaku sambil mengeluarkan kartu debit.

Bukannya menjawab, si ibu malah bengong. Melihatku bergantian dengan kartu yang ada di tangan.

"Diapakan ini nanti kartunya, Cah Ayu?"

Sekarang aku yang bingung.

"Atau sebentar, saya ambil uang di ATM dulu, Bu. Sebentar, ya."

Tanpa menunggu jawaban beliau, aku langsung berjalan cepat keluar pasar. Untung saat perjalanan ke sini tadi aku sempat melihat ada ATM di sekitar pasar.

Setelah beres, aku kembali ke pasar dan segera menyerahkan lima lembar seratus ribuan.

Aku kira kebingungan ini akan berakhir. Dengan mengembuskan napas berat, aku melihat dua plastik besar dan berat yang ada di dekat kaki. Gimana cara bawanya? Tiba-tiba aku menyesal tadi mau diantar, tetapi menolak.

Di tengah kebingungan, Tuhan seakan menolongku, lewatlah ibu-ibu sambil membawa barang belanjaan banyak sepertiku. Satu plastik di letakkan di pundak, sedangkan satunya di tenteng di tangan.

Menantu dari KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang