Kosakata Baru

1.4K 116 44
                                    

Klik!

Nilam tiba-tiba mematikan sambungan telepon, sementara dari belakang terdengar seseorang tertawa. Aku segera berbalik, lalu melepaskan earphone dan menyembunyikan ponsel di balik tubuh.

Bagas.

"Waalaikumsalam," ucapnya sambil berjalan mendekat. Aku refleks mundur, tetapi ia menahan tubuhku dengan satu tangan, sementara tangan satunya terarah mematikan kompor yang berada di belakangku.

"Ibu menyuruhku pulang, katanya khawatir karena mantu kesayangan lagi sendirian di rumah." Ia berjalan ke arah wastafel, menarik lengan kaus panjangnya sampai ke siku lalu mencuci tangan.

Ia mengeringkan tangan dengan serbet yang digantung di dinding, matanya tampak menelisik area yang sangat berantakan di sekitar kompor.

"Kamu masak?"

"Rencananya gitu," jawabku malu-malu.

"Bisa?"

Aku menggeleng.

Ia tersenyum, lalu beranjak ke arah kompor. Tanpa banyak kata, ia langsung menyalakan kompor dan mulai melanjutkan kegiatan memasak yang sempat terhenti tadi. Aku berjalan mendekat dan langsung takjub karena Bagas tampak ahli dalam memasak. Berasa nggak ada harga dirinya aku sebagai istri.

"Kamu belajar masak di mana?" tanyaku.

"Biasa ngelihat ibu sama bapak masak, jadi otomatis terekam. Kita bisa karena terbiasa, terkadang juga karena terpaksa."

"Almarhum bapak bisa masak?" tanyaku kaget. Mengingat, papaku di rumah sama sekali tidak pernah masuk ke area dapur atau memegang pekerjaan rumah apa pun.

Ada dua asisten rumah tangga dan semuanya pekerjaan rumah bisa beres tanpa harus kita capek-capek gerak. Namun, berbeda dengan mama yang memang suka sekali memasak. Bahkan, menu setiap hari pun mama yang menyiapkan. Mama sebenarnya sering memintaku membantu di dapur atau sekadar melihat, tetapi saat itu pikiranku nanti juga ada asisten rumah tangga, ngapain repot-repot belajar masak? Dan aku baru menyadari efeknya sekarang.

Meskipun begitu, Mama sangat menghormati Papa dan Papa sangat mencintai Mama. Terbukti, saat Mama memintaku menikah dengan Bagas yang tak lain adalah anak dari sahabatnya dulu, Papa tidak keberatan. Cuma memang agak lama Papa meminta waktu untuk menyelidiki seluk beluk Bagas. Toh, akhirnya merestui.

"Lama-lama kamu juga pasti bisa, tak perlu tergesa yang penting mau berusaha," ucap Bagas saat berjalan mengambil sendok, lalu mencicipi masakannya.

Begitulah Bagas, setiap ucapannya membuatku merasa dihargai dan dicintai. Itulah yang menjadi salah satu alasanku menerimanya, walau kita sama sekali tak saling kenal dan hanya bertemu tiga kali, sebelum akhirnya memutuskan menikah.

Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengannya, ia datang ke rumah sendirian, kata Mama sengaja hanya untuk bertemu denganku. Ya, sebelumnya Mama memang sudah memberitahu perihal Bagas, cuma saat itu aku masih belum memikirkan hal itu.

"Kalau nggak cocok nggak papa, Sayang. Coba kenalan dulu, ya. Tapi mamah pengennya sih cocok," ucap Mama yang terdengar membebaskan, tetapi juga terkesan  memaksa.

"Oke deh, nanti Bianca coba ketemu, Mah. Setelah itu, mau lanjut apa enggak terserah Bianca, ya? Oke? No debat."

Hari itu, setelah makan malam akhirnya kami ngobrol berdua di gazebo yang terletak di depan rumah, untuk pertama kalinya. Dari penampilannya ia memang tidak terlihat berasal dari desa. Tubuhnya tinggi, tidak kurus dan tidak gemuk, kulitnya nggak putih tapi bersih.

Saat pertama kali melihatnya di ruang tamu sebelum akhirnya kami mengobrol berdua, ia menyapa dengan biasa dan tidak over seperti pria-pria yang pernah datang dengan alasan mau berkenalan denganku. Kebanyakan dari mereka anak kolega Papa.

Menantu dari KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang