Selamat Tinggal Harga Diri

2.5K 155 42
                                    

Malam semakin larut, tetapi Bagas belum juga masuk ke kamar. Karena merasa aneh, aku pun keluar kamar untuk mencarinya. Ternyata, pria bergelar suamiku itu sedang berada di ruang tengah berhadapan dengan ibunya.

Aku yang tadinya berniat mendekat, langsung mengurungkan diri ketika melihat wajah Ibu yang tampak sangat serius. Sepertinya masalah yang sedang mereka bahas cukup berat. Karena tidak mau mengganggu, aku pun memilih bersembunyi di balik dinding dan mendengar pembicaraan mereka.

“Semuanya sudah jadi masa lalu, Bu.” Suara Bagas terdengar samar dari sini.

“Walaupun sudah jadi masa lalu, tapi bukan berarti nggak ada yang membekas, Le,” jawab Ibu dengan suara setengah berbisik.

“Ingat, kamu sudah punya Bianca sekarang, wanita yang kamu minta baik-baik pada papanya. Wanita yang rela meninggalkan kehidupan serba kecukupan di kota, demi baktinya kepadamu sebagai seorang istri. Jangan biarkan masa lalu merusak kehidupanmu sekarang, Le.”

Masa lalu? Apa Ibu sedang membahas mantannya Bagas? Wah … katanya nggak pernah pacaran, tapi, kok, punya mantan?

Aku yang sangat penasaran, semakin menempelkan telinga dan badan ke dinding, mirip cecak-cecak yang hinggap di jendela giginya tinggal dua.

“Iya, Bu, aku ingat. Tadi Pak Kades hanya meminta tolong menjemput Dewi di terminal, lalu diantar ke rumahnya. Itu saja. Dan kami tidak berdua, Bu, tadi ada teman yang sengaja kuminta menemani ke sana.”

Dewi? Siapa dia sebenarnya? Apa dia mantannya Bagas? Hem … meresahkan!

“Justru itu yang mengganggu pikiran Ibu. Di desa kita ini, bukan cuma kamu yang bisa bawa kendaraan roda empat itu. Kenapa mesti Pak Kades nelepon kamu? Ada Paklek Jono, tukang ojek yang tinggal persis di samping rumahnya kades, ada juga Paklek Usman yang biasa nyetir mobil pick-up kades. Kenapa harus kamu, Le? Apa Pak Kades lupa sama ucapan keluarga mereka tempo lalu?”

Aku mengintip sedikit dari balik dinding saat Ibu berkata panjang lebar tadi.

Bagas tampak menghela napas, kemudian diam. Tak satu pun dari mereka bicara lagi. Aku hanya melihat wajah resah Ibu, tetapi tidak bisa melihat wajah Bagas yang posisinya membelakangiku.

“Ya sudah, istirahat sana,” kata Ibu setelah beberapa saat berlalu dalam hening. “Ingat pesan Ibu, jangan coba-coba bermain api kalau nggak mau terbakar. Kubur semua rapat-rapat dan lupakan.” Beliau pun bangkit dari posisi duduknya dan membuatku segera berlari masuk ke kamar, lalu cepat-cepat berbaring di ranjang.

Hanya selang beberapa menit, Bagas masuk ke kamar dan langsung berbaring. Tak seperti biasanya, ia biasanya akan mengecup keningku terlebih dahulu sebelum tidur.

Baru saja aku berpikir seperti itu, tiba-tiba aku merasakan pergerakan darinya, lalu sebuah kecupan mendarat di keningku. Dengan mata yang pura-pura terpejam, aku tersenyum tipis. Ternyata ia masih ingat padaku.

"Kamu sudah tidur?" Ia menenggelamkan kepalanya di leherku dengan memeluk dari belakang. "Maafkan aku, Bi."

Maaf? Untuk apa?

Aku pun merasakan pelukannya semakin erat. Sebetulnya aku penasaran dengan pembicaraan Bagas dengan Ibu tadi, tapi mau tanya gengsi. Dahlah, pakai cara detektif aja. Aku interogasi si Ipeh saja besok. Lebih baik aku tidur, biar nggak dikira ikan yang melek terus.

***

Di tengah lelapku, samar terdengar suara lirih Bagas. Aku pun segera membuka mata, terkejut saat mendapatinya tidur dalam gelisah lalu tiba-tiba kembali tenang saat aku akan membangunkannya. Akan tetapi, saat aku akan kembali tidur, lagi-lagi terdengar lagi Bagas memanggil nama seseorang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menantu dari KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang