Belajar Masak

1.6K 110 52
                                    

"Ini rumah Budhe, Mbak. Kakaknya Ibuk."

Aku manggut-manggut saat memasuki pelataran luas yang berjarak sekitar lima rumah dari rumah mertua. Setelah selesai mengantar bungkusan tadi ke tetangga-tetangga, kami menghabiskan waktu sore bersama, jajan di warung lalu berjalan-jalan keliling kampung.

Jari kurus Ipeh menunjuk ke sebuah bangunan, ternyata di belakang rumah itu masih ada rumah lagi.

"Kalau yang belakang itu, rumah adiknya Ibuk dari ibu lain."

Lah, gimana ceritanya?

"Adik tiri, Simbah Kakung punya dua istri dulu, Mbak." Ipeh menjelaskan tanpa kuminta.

Kami melewati rumah lain, herannya satu kampung ini masih saudara semua. Kata Ipeh, ini baru 20% saja, di luar desa masih banyak lagi. Untunglah nggak ada ujian hidup hafalan silsilah keluarga.

Setelahnya kami mampir lagi ke warung dekat lapangan, duduk di kursi panjang sambil melihat anak-anak yang bermain bola di tanah lapang itu.

"Perutmu belum ada dedek bayinya, Mbak?"

Uhuk!

Aku hampir saja menyemburkan Pop Ice cokelat harga 5.000 ini ke wajah Ipeh. Haduh, jangankan dedek bayi, proses pembuatannya saja belum terjadi.

Sebenarnya bukan salah Bagas juga, karena awalnya aku yang bilang kalau belum siap. Tetapi, kan, bilangnya sehari setelah nikah! Ya kali, pas udah siap aku yang minta duluan? Aku beberapa ngasih kode pun dia nggak peka.

Pernah aku coba pake baju tipis hadiah kado pernikahan, eh bukannya diserang malah diselimutin, katanya udara bakal dingin banget malem ini. Kenapa nggak dia aja yang jadi selimutku?

Eh, jadi ceritanya ngarep nih? Astagfirullah … bener!

"Mas Bagas itu cuek pol sama cewek, Mbak. Makanya nggak pernah punya pacar. Ditambah sejak Bapak meninggal tiga tahun lalu, Mas Bagas cuma kerja, kerja, kerja. Jadi, yo sabar dikit ya Mbak nek kita ngomong banyak dia balesnya seuprit," ucap Ipeh

Aku mengangguk-angguk sambil terus menyedot pop ice yang rasanya nggak beda jauh sama starbak, yang sering aku minum pas pulang kerja dulu. Bedanya ini harganya 5.000, si starbak 50.000!

***

Malam ini aku membantu Ipeh mencuci piring setelah makan malam. Tadinya aku yang mencuci, mungkin karena melihat kebingunganku, Ipeh akhirnya mengambil alih.

Awal-awal menikah kemarin, aku selalu masuk ke kamar setelah makan dan 2 hari ini aku sengaja lebih lama di luar kamar.  Mencoba beradaptasi, walau kadang masih sangat sulit.

"Kami maklum, Mbak Ika masih belum terbiasa tinggal di sini, biasanya di rumah guede dan apa-apa dilayani. Ra popo, Mbak. Alon-alon wae, pelan-pelan. Sing tenang."

Aku hanya nyengir, karena nggak tahu beberapa arti dari kosakata yang Ipeh ucapkan.

"Mas!" teriak Ipeh saat Bagas masuk ke dapur dengan gelas kosong di tangan. "Mbak Ika kui ajak jalan-jalan ke mana gitu, lo, manten anyar kok kayak musuhan? Suami di mana, istri di mana. Libur dulu sing kerja, lagian wes punya banyak karyawan kok ya masuk kerja terus. Bos itu di rumah, ongkang-ongkang nerima duit. Nek aku jadi istrimu tak tukar tambah sama bebek kamu itu, cueknya kebangetan! Jan tenan og."

Kereta Ipeh mulai berlayar.

"Emang dia mau?"

"Yo jelas mau, perempuan mana yang nggak suka jalan-jalan? Ya nggak, Mbak?" ucap Ipeh sambil melihatku. Lagi-lagi aku hanya nyengir.

Ada, Peh! Aku! Mending rebahan daripada bikin capek badan. Makanya aku nggak masalah nggak ada acara bulan madu, yang penting ada kasur buat rebahan, cukup!

Menantu dari KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang