Tetap Menyerah, Jangan Semangat!

1.5K 101 27
                                    

Setelah menghadapi sedikit kecanggungan, Bulek Sri tiba-tiba tertawa sambil memukul-mukul bahuku pelan. Untunglah beliau tidak mempermasalahkan ucapanku dan masih terus melanjutkan ngobrol. Tak berapa lama Bulek Sri pamit, kami pun beranjak meninggalkan restoran yang dihiasi banyak gambar katak itu.

"Awas nginjek kotoran lagi," ucap Bagas yang membuatku seketika memelankan langkah.

“Namanya juga di desa, banyak ranjaunya. Hati-hati, Nak,” kata Ibu memperingati.

Aku tersenyum kikuk, lalu mengangguk. Kami menunggu Bagas sedikit memundurkan mobil agar tidak terkena kotoran lagi tadi. Lantas aku naik ke bak belakang sambil berpegangan ke tangan Ipeh yang sudah lebih dahulu naik. Seumur-umur, baru kali ini aku naik di bak mobil pick-up. Entah kenapa rasanya kayak kambing yang mau dibawa ke masjid buat dikurbanin.

“Mbak, Mbak, lihat! Itu di sana rumah saudara Ibuk yang lain. Di situ lebih adem dari rumah kita, Mbak, terus di belakang banyak pohon kelapa. Mas Bagas jago tuh, manjat pohon kepala, tapi nggak bisa turunnya.” Ipeh bicara sambil menunjuk-nunjuk ke arah yang tidak jelas.

“Nanti kita jalan-jalan ke sana, Mbak. Ada kolam lele juga di belakangnya.”

Ipeh terus bercerita seiring dengan mobil yang mulai melaju. Aku mengangguk-angguk saja sambil melihat ke sekitar. Tadinya agak malu karena duduk di bak mobil pick-up dengan dandananku seperti ini, tetapi angin sepoi-sepoi dan suara ribut Ipeh membuatku melupakan sedikit rasa malu dan bisa mengangkat wajah.

Aku mencoba rileks dengan melihat pemandangan sekitar yang di kelilingi kebun teh. Sangat berbeda dengan pemandangan di ibu kota yang kebanyakan adalah gedung tinggi.

Ah, tiba-tiba aku rindu Kota Metropolitan itu. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sepertinya, aku masih harus berjuang keras untuk adaptasi di sini.

***

Hari-hari berganti, kesibukanku dulu di kota besar yang tak pernah sepi dari kerja, kerja, dan kerja harus diganti dengan berdiam diri di rumah. Akhirnya, menulis adalah salah satu cara mengisi waktu luang. Walau terkadang, butik tempatku bekerja dulu masih sesekali meminta bantuan untuk sekadar berkonsultasi mengenai produk yang akan rilis.

Ah, terkadang aku merindukan masa-masa itu. Gila kerja sampai lupa jatuh cinta.

"Serius banget."

"Eh!" Aku langsung menutup iPad dan menghentikan kegiatan menulis. Aku mengubah posisi menjadi duduk di pinggir ranjang dan menatap Bagas yang entah kapan masuk kamar.

"Tumben jam segini udah pulang?" tanyaku, sambil melirik jam di dinding yang masih menunjukkan pukul 2 siang.

"Heem." Bagas duduk di sampingku.

"Mandi, gih, bau rokok!" Aku mengibas-ngibaskan tangan di depan muka.

Aku tahu Bagas tidak merokok, tetapi hampir 80% temannya perokok aktif. Bukannya segera mandi, Bagas malah melepas kausnya.

Duh, nggak sopan banget itu kotak-kotak di perut!

"Dih, porn* aksi!" Aku langsung melihat ke luar kamar karena pintu tidak tertutup. Untung Ipeh lagi ke rumah temannya, sedangkan Ibu tadi pamit ke ladang yang nggak jauh rumah.

"Porn* aksi itu kayak gini."

Cup!

Bagas melayangkan kecupan singkat di pipiku. "Aku mandi dulu." Lalu ia pergi begitu saja.

"Bi." Tiba-tiba Bagas menghentikan langkah sambil menatapku. "Mau ikut mandi?" lanjutnya.

Aku mematung sejenak.

Menantu dari KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang