Mending Diem

1.3K 113 13
                                    

Tulisan Omah Kodok terlihat jelas saat mobil memasuki pelataran parkir. Apa restoran ini jual katak? Ada banyak sekali gambar katak di sana.

Sejurus kemudian, mesin mobil mati, membuatku dan Ipeh berdiri persis kayak Bu Tejo and the gank. Aku pun pasrah dengan make up yang cetar tadi, nggak tahu sudah kayak gimana bentuknya sekarang.

"Jualan kodok, ya, Mas?" tanya Ipeh saat Bagas keluar dari mobil.

"Hiasan aja."

Omah Kodok itu kayaknya bahasa Jawa, ya? Aku menduga-duga dalam hati.

Ipeh mengangguk-angguk mendengar ucapan Bagas. "Kodok itu katak, Mbak." Ipeh seakan tahu kebingunganku.

Ah, iya! Bisa-bisanya aku lupa kalau kodok itu nama lain dari katak.

"Tapi ngak mungkin, to, Le, warungnya ini jualan kodok?" tanya Ibu Mertua saat Bagas membukakan pintu untuknya.

"Ndak, kok,Buk. Ayo mandap, hati-hati." Bagas memegangi lengan wanita yang melahirkannya itu dengan lembut, lalu bersiap membantuku turun.

"Hati-hati. Eh, bentar."

Melihat perlakuan Bagas kepada ibunya, aku jadi ingat ucapan Mama kala itu.

"Menikahlah dengan pria yang hormat dan sayang sama ibunya. Ibunya saja dijaga sepenuh hati, apalagi ibu dari anak-anaknya nanti."

"Tapi banyak itu kasusnya terlalu sayang sama ibu sampai lupa anak-istri. Apa-apa ibunya, apa-apa ibunya," balasku.

"Yang pertama ditanamkan dalam hati kita saat menjadi seorang  istri adalah ikhlas, Nak. Ikhlas kalau laki-laki memanglah sepenuhnya milik orang tua, tapi di sisi lain, kita juga berhak mengingatkan kalau semisal suami sedang lalai."

"Lalai?"

"Lalai kalau selain orang tua, ada keluarga yang harus dipenuhi hak-haknya. Itulah pentingnya komunikasi dan pondasi agama dalam rumah tangga."

"Apa Papah juga sayang ke Eyang dulu?"

"Lo, iya. Makanya Mamah nerima Papah, karena baktinya sama Eyang memang pantas diacungi jempol. Tapi Papah juga bukan manusia sempurna, di saat lalai Mamah lah yang dengan sukarela mengingatkan. Menikah itu ibadah terlama yang dilakukan oleh dua orang, nggak bisa kalau cuma satu orang yang berjuang."

"Bianca sama sekali nggak kenal Bagas, Mah. Butuh waktu lama untuk saling mengenal dan itu pun belum tentu Bianca terima. Bayangan Bianca tuh, ya, nanti bakal nikah sama orang Jakarta atau sekitarnya aja. Biar kalau pengen pulang-pulang itu deket. Mana tadi rumahnya Bagas? Desa Jenawi, Karanganyar? Perjalanannya aja hampir 4 jam, habis naik pesawat, lanjut bus. Aduh … nggak bisa bayangin. Belum lagi kebiasaan di sana pasti beda jauh sama di sini."

Saat itu, aku ingat Mamah langsung mengusap kepalaku lembut sambil tersenyum tenang.

“Ala bisa karena biasa. Jangan takut dengan jarak dan kebiasaan. Nanti kalau sudah beberapa kali pulang-pergi Jenawi-Jakarta, rasanya nggak akan jauh lagi. Pun dengan kebiasaan di sana. Awalnya pasti sulit, tapi lama-lama juga terbiasa. Buktinya Mamah yang orang desa bisa adaptasi dengan kehidupan di kota. Yang perlu dingat, di mana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Yang penting, hormati budaya dan kebiasaan orang di sana, jangan anggap remeh apalagi menjelek-jelekkan budaya atau kebiasaan orang yang mungkin bagi kamu aneh karena memang belum terbiasa.”

Aku menghela napas panjang mengingat nasihat beliau.

"Bi, ayo."

Pandanganku kembali ke masa sekarang dan buru-buru turun dari bak mobil pick-up ini saat mendengar panggilan dari Bagas, ia tadi sempat menjauh karena mengambil sesuatu yang tertinggal di dalam mobil.

Menantu dari KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang