Gara-Gara Ipeh

1.3K 108 23
                                    

Sepanjang perjalanan, aku sangat kesal setelah tahu arti dari kata yang terucap tadi. Mana nyuruh ditingkatkan lagi! Untung Bude tadi nggak marah.

Ya ampun ... harga diriku.

Salah Bagas juga kenapa nggak bilang dari awal artinya apa. Huft!

Bagas terus meminta maaf, tetapi aku menanggapi dengan cuek. Namun, saat memasuki area yang kanan kirinya dipenuhi kebun teh seketika suasana hatiku langsung membaik. Hamparan dedaunan hijau tersebut sungguh memanjakan mata, tersadar kalau aku sudah jarang melihat suasana seperti ini semenjak terjun ke dunia kerja.

"Ini kebun teh yang sering Ipeh ceritain itu?"

"Iya," jawab Bagas singkat.

Aku mengeluarkan ponsel dan mengedarkan pandangan sambil mengambil beberapa foto. Namun, seketika senyumku memudar saat mendapati Bagas tengah memperhatikanku dari spion.

"Apa lihat-lihat? Nggak pernah lihat orang cantik?" ejekku.

Ia tak membalas, hanya tersenyum tipis dan terus saja mencuri pandang lewat spion.

Tak berapa lama motor berhenti di salah satu warung yang berlatar belakang pemandangan kebun teh.

"Mau sate kelinci?" tanya Bagas.

"Ha? Kelinci lucu yang lompat-lompat itu disate?" Aku balik bertanya kaget.

Bagas mengangguk. Aku malah bergidik ngeri, lalu menggeleng berulang kali. Pria berjaket hitam itu tertawa kecil lalu menyuruhku duduk terlebih dahulu.

Dari tempat duduk, aku melihatnya memesan sesuatu pada penjual lalu menyusulku. Warung ini temboknya rendah, jadi saat duduk mata langsung disuguhi pemandangan kebun teh.

"Betah tinggal di sini?" tanyanya sambil melepas jaket.

Aku menatap Bagas sekilas. "Dibetah-betahin. Udah konsekuensi pas nerima ajakan nikah kemarin."

Bagas tersenyum tipis.

"Cuma ya ... kudu agak sabar. Aku kayak terjun ke dunia lain, eh, maksudnya ke dunia asing, yang kebiasaan dan bahasanya banyak yang nggak aku ngerti. Contohnya tadi, duh malu banget sumpah!"

Bagas kembali tersenyum. "Maaf."

Aku menghela napas panjang, sambil mengedarkan pandangan. Rasanya begitu asik melihat pemandangan di depan sana, ditambah cuaca dingin yang menambah suasana menjadi syahdu.

"Cantik banget, ya, pemandangannya," ucapku.

"Sama kayak yang ngomong."

"Dih, pinter gombal sekarang."

"Tapi suka, kan?"

Aku hanya membalas dengan tawa, dan kami sama-sama terdiam setelahnya.

"Kata Ipeh kamu nggak pernah pacaran, ya?  Apa jangan-jangan memang ngincer cewek kota buat dipacarin?" tanyaku memecah keheningan.

"Apa saat kita pertama bertemu, aku ngajak pacaran?"

Aku menggeleng. "Enggak, sih. Lagian kenapa kita nggak pacaran dulu?"

"Kamu pantasnya dinikahi, bukan dipacarin."

Aku langsung terdiam dan tersipu malu. Dahlah, berasa pengen langsung ngajak pulang terus gubrak, gubrak, jeder!

***

Hari-hari berikutnya, lebih banyak kosakata lagi yang mulai aku pahami. Seperti matur nuwun, enggeh, mboten, mangan, adus, pekok. Untunglah untuk kosakata terakhir Ipeh sempat menahanku saat akan mengucapkannya, kalau enggak mungkin aku sudah dipecat jadi menantu karena hampir saja mengatai mertuaku dengan kata-kata itu.

Menantu dari KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang