CHAPTER 6

730 161 7
                                    

"Sudah kubilang kamu harus melunasinya hari ini!, jika kamu tidak bisa, Carilah tempat tinggal baru!"

Seorang wanita paruh baya tengah memaki habis habisan wanita berambut pendek dihadapannya.

Yerin, inilah dirinya sekarang. Sejak empat tahun yang lalu, tepatnya saat kedua orang tuanya telah tiada. Hidupnya benar benar menjadi hancur, tidak ada yang tahu hal itu kecuali dirinya.

Kakak laki laki satu satunya terlibat perjudian, membuat Yerin memilih untuk tinggal sendiri. Memutus semua koneksi yang menghubungkan dirinya dengan sang kakak, tak peduli apapun itu.

Yerin berusaha keras menghidupi dirinya sendiri. Kerja part time di cafe orang, sampai ia juga rela menyebarkan brosur promo makanan di jalanan dengan kostum beruang.

Untuk sekarang, yang penting baginya adalah Bertahan hidup. Tak peduli apakah ia harus berpindah pindah tempat atau bahkan terlilit hutang sekalipun.

"Tidak bisakah kamu memberikan waktu padaku? Satu minggu─ Bagaimana?" Yerin merengek sedih. Ia merangkul tangan ibu kosnya, berharap itu akan meluluhkan hatinya, tapi tidak.

"Kamu mengucapkan itu seminggu yang lalu, Keluar dari sini atau kamu akan aku laporkan ke polisi?!"

Wanita paruh baya menepis kasar tangan Yerin yang merangkul kencang lengannya. Kemudian pergi.

Yerin menghela nafasnya, ini sudah ketiga kalinya ia diusir seperti ini. Mentalnya sudah sekuat dinding beton sekarang.

"Baik, Jung Yerin! Kamu harus pergi, apapun yang terjadi kamu memang harus pergi," ia berbicara dengan dirinya sendiri.

Hampir tiga jam berlalu, Yerin melakukan apa yang ibu kos tadi perintahkan. Mengemasi semua barang barang juga bajunya kedalam koper.

"Siapa yang akan menyangka seorang Jung Yerin menjadi semenyedihkan ini?" gumam Yerin yang kini terduduk di atas ranjang yang sebentar lagi akan segera ia rindukan.

Ia menghela nafas, lalu melambaikan tangan kesemua barang yang ia tinggalkan, "Sampai jumpa kasur, sampai jumpa kipas angin, sampai jumpa lemari, sampai jumpa semuanya. Jangan merindukanku, karena aku tidak akan datang lagi."

Ia menarik kopernya, berjalan keluar tanpa pernah tau dimana tempat yang akan ia tuju sekarang. Perutnya lapar, ia juga kedinginan. Satu dipikirannya saat ini.

"Aku pasti akan mati tak lama lagi."

-oOo-

"Unnie, Kenapa namamu harus sama denganku? Aku benci itu," celetuk Sinb yang tengah memakan keripik sambil menonton televisi di ruang tengah rumah Eunha.

Sinb memang selalu mengunjungi Eunha hampir setiap kali ia tidak sibuk. Dengan dalih bahwa televisi dirumahnya rusak.

"Kamu yang meniruku, bodoh." Jawab Eunha sambil memukul pelan paha Sinb.

"Hei, aku tidak menirumu. Orang tuamu yang menirunya."

"Aku ini lebih tua darimu. Jadi dapat kupastikan ayahmu yang meniruku."

Perdebatan kecil yang acak, selalu mereka bicarakan. Tak peduli apapun itu, bahkan beberapa bulan yang lalu, mereka bertengkar hebat hanya karena membahas bokong itu satu atau dua.

"Sinb-ya, tolong ambilkan aku bir di dalam kulkas." perintah Eunha

Eunha memerintah tanpa menatap Sinb. Matanya fokus ke adegan film yang sedang ia tonton.

We Are Always One [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang