Bab 7

18 2 0
                                    

Kabut putih itu semakin tebal mengelilingi Yu Ri sementara dia terus berjalan mendekatiku hingga jarak kami hanya sekitar beberapa senti lagi. Dia menatapku dengan kesedihan di wajahnya. Tangannya terangkat dan membelai pipiku. Seketika itu juga tubuhku serasa membeku. Semua menjadi miliknya. Jantungku yang berdebar kencang miliknya, keresahanku miliknya, kerinduanku miliknya, dan tubuh ini hanya menjadi miliknya. Lalu tetesan hujan menetes dari pelupuk mata bidadari di hadapanku. Dia menangis tapi tersenyum. Senyumannya membutakanku selamanya. Jika ini memang hanya akan menjadi sebuah mimpi, maka aku tidak ingin bangun lagi. Biarkan aku disini bersamanya.

Gadis yang hanya hidup dalam khayalan dan mimpiku. Dia begitu sempurna di setiap detailnya. Sangat indah. Tersenyum dalam mimpi dan anganku. Tidak tersentuh oleh kejahatan manusia. Sayangnya aku selalu terbangun tepat di saat Yu Ri menggenggam tanganku dan mengajakku pergi. Dan danau gelap itu menghilang bersamanya. Aku baru tahu tentang mimpi yang datang berulang-ulang. Selama ini aku kurang mempercayai perkataan teman-teman yang bercerita tentang hal itu. Ada yang mengatakan bahwa mimpi yang aneh dan datang berulang kali itu mungkin adalah sebuah pertanda akan sesuatu yang akan terjadi. Itu hal yang sulit untuk dibahas.

Penjelasan logisnya, mimpi bisa menjadi kilasan dari ingatan yang kuat akan sesuatu atau seseorang dan juga bisa dikarenakan oleh sebuah keinginan dan hasrat yang tersimpan sangat dalam di hati. Ya. Itu mungkin saja terjadi padaku. Yu Ri memang telah menggetarkan hatiku. Sudah lama aku menantikan kehadiran seorang gadis seperti dirinya. Gadis yang ketika memandangnya, semuanya terasa berbeda. Teduh dan bahagia. Gadis yang tidak hanya mampu membuat seseorang jatuh cinta tapi gadis yang mampu menghadirkan berbagai imajinasi. Itulah yang kurasakan terhadapnya. Namun keinginanku hanya akan menjadi sebuah mimpi selamanya.
Hidupku terus berlanjut walau dengan rasa sepi yang mematikan. Aku telah kehilangan banyak kebahagiaan di Medan. Tapi masih ada harapan untuk bahagia lagi bagiku disini. Dimana pun.

Kemarin sore Pak Wahab menghubungiku dan menawarkanku untuk mengawas ujian siswa selama seminggu. Tentu saja aku tidak menolak. Kesempatan sekecil apapun tidak boleh ditolak. Lumayan juga untuk menghibur hatiku yang gundah.

Pagi ini aku mengumpulkan semangat yang masih kumiliki sebelum menemui Pak Wahab untuk membicarkan tentang aku yang akan mengawas ujian mulai besok. Tidak lama. Pak Wahab hanya ingin membicarakan materi sekaligus melihat keadaanku. Kebetulan dia sedang sibuk dan harus pergi mengurusi beberapa hal. Tidak apa-apa. Begini saja sudah sangat baik untukku. Kukenakan setelan kemejaku yang paling bagus. Kemeja biru yang kubeli beberapa bulan yang lalu sebelum semua kesedihan datang.

Ketika hendak menyalami tangan ibu dan berpamitan, ia mengajakku bicara. Roman wajahnya sulit ditebak membuatku semakin penasaran.

“Devon, apa kamu percaya sama Ibu?” tanya ibu.

Alisku bertaut bingung. “Tentu saja. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?"

“Kira-kira kamu akan setuju dengan apa yang ingin Ibu katakan ini?“

Aku semakin bingung. ”Bagaimana aku akan setuju jika aku tidak tahu apa itu?”

“Ini tentang seorang gadis,” ujar Ibu.
Aku menarik napas panjang.

Kegelisahan merayap masuk ke hatiku. “Apa sebenarnya yang ingin Ibu katakan? Katakan saja tapi maaf, Bu, aku hanya memiliki waktu lima menit. Aku sudah berjanji pada Pak Wahab akan datang tepat waktu.”

Sekarang giliran ibu yang menarik napas panjang. Setelah diam mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya baru ia bicara, “Mika sudah menceritakan tentangmu kepada tantenya, dan tantenya juga sudah memberitahu Ibu,”

“Ya...” Aku menunggu lanjutan kata-kata ibu yang masih tersendat itu. Aku sudah tahu hal ini bisa menjadi sebuah pembicaraan berbelit-belit karena sudah mengetahui ke mana arahnya.

I Love You, Guru TampanWhere stories live. Discover now