Tidak pernah aku merasa sekosong ini seumur hidupku. Aku terlalu bingung memutuskan perasaan apa yang paling kuat berkecamuk di hati. Antara takut, gelisah, sedih, atau putus asa. Mungkin tepatnya aku sudah kehilangan setengah dari jiwaku.
Tetapi nyatanya saat ini aku sedang duduk seorang diri di stasiun kereta api meresapi kepedihan yang ditimbulkan selembar kertas yang ada di tangan. Selembar kertas mimpi buruk yang telah sukses besar mengubah hidup ini seratus delapan puluh derajat.
Tulisan-tulisan hitam kecil di kertas itu bagai menari-nari berusaha menyadarkan akan suatu kenyataan. Untuk kesekian kalinya aku meyakinkan diriku, Devon Bruno positif mengidap kangker paru-paru stadium menengah.
Mataku terasa pedih. Seandainya saja aku bisa menangis, mungkin saja bisa mengurangi rasa sakit ini.
Kehidupanku dua bulan yang lalu masih baik-baik saja sebelum rasa sakit itu meradang meremukkan tubuh, menghancurkan hati, dan mengoyak jiwaku.
Setelah menjalani beberapa tes akhirnya aku tahu apa yang terjadi. Ibu adalah orang paling berduka. Setiap detik dalam hidupnya terasa bagaikan teror. Kata tenang dan sabar sudah tidak ada makna lagi baginya. Aku selalu berusaha mengacuhkan keluhan sedih ibu di sela-sela rutinitas dan juga berusaha mengacuhkan tatapan sedihnya tiap kali memandangku makan, berjalan melewatinya, dan melakukan apapun tanpa semangat. Sikap ibu memberi efek berkali-kali lipat kepedihan di hati.
Sementara ayah yang sejak kecil kukenal berkepribadian keras mendadak membuang jauh-jauh sifat otoriternya. Dia tidak pernah marah lagi, bahkan menyarankan liburan menyenangkan ke berbagai tempat bagus. Adik perempuanku yang manis, Shirly, membuat terharu akhir-akhir ini dengan kasih sayang dan perhatiannya. Walaupun terkadang perhatian itu terasa berlebihan.
Rasanya ingin sekali berteriak dan mengatakan kepada ibu agar dia tersenyum lagi dan jangan menatapku dengan pilu. Aku merindukan ekspresi marah ayah serta gurauannya, dan aku ingin Shirly berhenti menanyakan apakah aku baik-baik saja tiap kali kami bertemu muka. Bukannya aneh. Aku hanya ingin semua orang bersikap biasa dan jangan ingatkan aku dengan musibah yang semakin menggerogoti daya hidup ini.
Dan sekarang kesedihan itu kembali merasuki setelah turun dari kereta api yang baru lima menit lalu tiba di Medan. Seminggu bersama sahabat karib di Batubara, cukup memberi hiburan. Temmy sahabat dari SMA yang bekerja dan tinggal di Batubara sangat baik dan telah menjadi pengaduanku. Layaknya seorang saudara dengan senang hati dia mengulurkan tangan untuk menggapai dan berusaha mengisi semangatku. Tetapi karena tidak ingin menyusahkannya telalu lama, hari ini aku pulang kembali ke Binjai.
Aku tinggal di Binjai. Sebuah kota kecil di Sumatera Utara yang merupakan tempat kelahiranku. Binjai kota indah dan tenang. Kira-kira satu jam perjalanan dari Medan. Lebih segar dari Medan yang berpolusi dan gerah. Mayoritas daerahnya masih bernuansa pedesaan. Tidak banyak tempat hiburan, tapi aku sangat menyukainya. Kota yang menjadi naungan seorang penderita kangker stadium menengah.
Hidupku yang rumit.
Sesuatu melesak dalam pikiran yang sudah padat dipenuhi berbagai hal. Sampai saat ini aku masih belum membuat keputusan. Dokter sudah mewanti-wanti dan menyarankan program chemotraphy sebelum operasi. Chemotheraphy sangat wajib untuk meningkatkan keberhasilan operasi dalam kasusku. Tetapi orangtua juga sanak saudara ragu dan lebih menganjurkan agar aku memilih opsi yang lain. Pengobatan alternatif dengan herbal dan pencerahan spirit. Bukan berita baru jika sudah banyak penderita kangker yang berhasil sembuh setelah menjalani pengobatan alternatif. Tapi tidak sedikit juga yang gagal.
Sampai saat ini aku masih terlalu bingung untuk menentukan jalan hidupku yang entah sampai kapan. Keberanian telah sirna. Yang kutahu adalah harus bisa menjalani sisa hidup yang kumiliki dengan semestinya apapun yang terjadi. Aku harus kembali bekerja besok setelah seminggu izin berlibur (meskipun dokter sudah melarang untuk bekerja). Aku tidak akan berdiam diri di rumah seperti robot yang telah diprogram melakukan beberapa kegiatan tanpa tahu apa makna dan rasanya. Penyakit apa pun tidak akan mengubah statusku sebagai manusia. Seorang Devon Bruno, berusia dua puluh enam tahun, lulusan sarjana ilmu komputer dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan yang mengajar di sebuah sekolah swasta. Aku memiliki banyak teman dan selalu ceria.
Aku terus menghibur diri dan lega ketika mendapati diri tersenyum saat mengingat wajah teman-teman. Mereka orang-orang baik yang tidak sepantasnya kuhukum dengan sikapku yang mendadak aneh dan selalu berusaha menjauhkan diri. Jelas mereka tidak mengerti. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui penyakitku selain Temmy.
Mesin kereta api berderum perlahan.
Seorang wanita paruh baya berjalan melewatiku bersama seorang anak laki-laki di dalam gendongannya. Anak itu tersenyum polos khas bocah dan melambaikan tangannya kepadaku. Bibirnya yang mungil mengucapkan kata 'abang' dengan manja. Aku membalas senyuman penuh berkahnya. Bocah mungil itu mengingatkan dengan masa kecilku bersama ibu. Dulu ibu juga sering menggendongku dan membisikkan kata-kata lembut penuh kasih sayang di telingaku. Ah, jika mengingat ibu, airmataku mulai tergenang.
Suara teriakan seorang laki-laki petugas kereta api menyerukan nama salah satu petugas yang lain menyadarkan dari lamunan panjang. Si anak laki-laki dan ibunya sudah semakin jauh dariku. Mungkin bergegas pulang seperti juga aku yang harus segera pulang.
Aku bangkit dan berjalan meninggalkan stasiun. Kereta api mulai diisi oleh beberapa penumpang lagi. Sunyi. Hanya tinggal beberapa orang hilir mudik dengan berbagai ekspresi dan tangan-tangan yang meninting tas dan lain-lain. Semua orang datang dan pergi tapi tetap tidak bisa melarikan diri dari kenyataan.
Seorang gadis muda berpakaian serba hitam yang berdiri sekitar lima meter di depan mengusik perhatian. Dia mengenakan mini dress berlengan panjang dengan bagian bahu bermodel balon dan stocking hitam bermotif sulaman bunga menutupi sepasang kaki jenjang. Rambutnya hitam lurus sepinggang.
Dia mulai berjalan semakin mendekat ke arahku dan saat itu juga kusadari betapa cantik parasnya. Terlihat jauh lebih cantik dari dekat. Hidung mancung, mata bulat tidak kecil dan tidak besar, kulit putih dan berkesan mengeluarkan cahaya tersendiri. Kulit putih yang sangat kontras dengan bibir yang kemerahan. Bukannya aku tidak pernah melihat gadis secantik dirinya, hanya saja gadis ini sangat berbeda. Kecantikan yang tidak biasa. Setiap detail wajahnya seperti seni yang tercipta begitu sempurna. Dan ekspresi hampa di wajahnya memberi satu kesan layaknya lukisan hidup yang bergerak.
Saat gadis itu berjalan melewatiku, tidak sedetik pun ia melirik. Namun dapat kulihat semburat merah samar-samar di pipinya. Bukan riasan make up tapi sesuatu yang alami seperti kecantikannya yang begitu polos namun memikat. Tapi ada sesuatu yang aneh dari dia. Bekas-bekas airmata terpeta di kedua pipi merah itu. Mata bengkak seperti orang yang sudah menangis selama berhari-hari. Entah apa penyebabnya yang telah membuat gadis secantik itu menangis. Aku hanya bisa menatap penasaran dan mulai menerka-nerka dalam hati. Mungkin dia baru saja berduka cita atas kepergian seseorang yang amat dicintainya dan menilai dari pakaian yang ia kenakan, dugaanku bisa saja benar.
Kemudian gadis itu pergi. Dia berjalan semakin menjauh ke arah lain.
Dan menghilang....
Hari ini, Minggu, pukul lima sore, aku telah melihat seorang bidadari di stasiun kereta api. Bidadari berwajah polos yang dirundung duka tersembunyi. Kejadian yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan sebelum aku sempat meresapi keindahannya, dia telah pergi entah kemana.
***
YOU ARE READING
I Love You, Guru Tampan
RomanceDevon Bruno, guru di sebuah sekolah SMA. Tanpa disangka-sangka, Devon bertemu gadis cantik yang pernah dilihatnya di stasiun kereta tempo hari. Namun sesuatu telah terjadi kepada gadis yang ternyata bernama Song Yu Ri. Gadis pemain biola itu terba...