Suara kicauan burung membangunkanku. Aku sudah tidak ingat lagi sudah berapa lama tertidur. Rasanya banyak hal yang kulupakan. Aku sudah tidak tahu lagi hari apa dan tanggal berapa. Bahkan terkadang aku tidak bisa membedakan antara pagi, siang, atau sore. Yang terjadi selama berhari-hari ini hanya tertidur dan ketika membuka mata tahu-tahu sudah ada ibu, ayah, Shirly, kakak perempuanku, perawat, dan juga dokter. Tidak ada teman yang datang menjenguk selain Temmy dan Pak Wahab. Itu bagus. Aku memang tidak menginginkan keluh kesah dan ungkapan prihatin yang semakin membuat terpuruk.
Bagaimana pun juga, tidak akan ada yang mengerti perasaan ini. Mereka hanya bisa cuap-cuap mengucapkan perkataan-perkataan baik yang mudah ditebak dan sudah umum dan ujung-ujungnya akan meninggalkan kesan kasihan. Aku yakin itu akan semakin menghancurkanku. Aku tidak perlu kata-kata lagi. Aku butuh orang-orang yang bisa memasuki hati dengan usaha dan perhatian. Orang-orang yang mampu meredam segala luka batin tanpa harus banyak kata-kata belas kasihan dengan ketulusan yang memang lahir dari hatinya. Dan aku tahu harapanku sia-sia.
Kondisiku sudah agak membaik dalam seminggu. Membaik yang bukan dalam artian yang sebenarnya. Hanya membaik karena perlahan-lahan aku mulai bisa bergerak, bangkit, dan berjalan. Beberapa waktu yang lalu aku sempat mengira bahwa aku telah meninggal. Dokter yang sudah kewalahan juga memberi izin padaku untuk pulang besok. Tentu saja tidak semudah itu. Seperti biasa, aku dianjurkan agar segera menjalani chemotheraphy. Tapi aku tetap enggan dan sudah membuat keputusan bersama keluarga untuk memilih pengobatan alternatif terlebih dahulu. Ibu mempunyai harapan dengan opsi itu. Itu juga merupakan pilihanku. Aku masih ingin terlihat seperti tidak terlalu sakit dan pengobatan secara alternatif adalah pilihan.
Banyak yang berubah dan peraturan-peraturan baru mulai ditetapkan. Aku dilarang keras untuk bekerja lagi dan harus banyak istirahat. Aku masih diperbolehkan beraktifitas seperti nonton bersama teman-teman dan hang-out asalkan tidak terlalu capek dan juga harus mentaati ibu. Kedengaran biasa tapi aku tahu itu akan sulit. Diam-diam aku berpikir apakah ayah dan ibu juga sudah pasrah?
Hidupku masih belum lebih baik. Belum ada kemajuan yang positif. Dan di hari yang sulit ini, dimana besok aku akan segera pulang dari rumah sakit, seorang gadis bunga datang kepadaku. Dia mengetuk pintu dan melangkahkan kaki memasuki kamarku. Wajah yang cantik itu luar biasa sedih.
"Mika..." Aku tertegun memandangnya yang berdiri di depanku.
Mika mengenakan seragam putih mengusap airmata yang mengalir di pipi. Dia menatapku dengan tatapan sedih yang tidak pernah kulihat. "Kenapa abang merahasiakan semua ini dari Mika? Kenapa abang jahat sekali?" cecarnya.
Aku tertawa dan merasa diriku benar-benar linglung. "Mika bicara apa? Abang tidak mengerti."
"Jangan bohong dan berpura-pura baik-baik saja. Mika tahu Abang sedang sakit," sahut Mika. Airmatanya bergulir lagi membuat hatiku jungkir balik.
"Oh, iya. Kemarin abang memang sempat sakit dan diopname karena kecapekan dan kurang darah. Tapi sekarang abang sudah baikan, Dik. Besok abang sudah dibolehkan pulang. Terima kasih Mika sudah mau melihat abang." Aku tersenyum seceria yang kubisa.
Mika terdiam untuk beberapa lama sambil menatap kesal.
"Masih mau berbohong?"
"Eh..."
"Mika sudah tahu semua, Bang. Mika tahu abang mengidap kangker." Mika meraih tanganku. Dia berkedip malu.
Aku tidak sanggup berlama-lama lagi bertatapan dengan Mika dan sadar bahwa posisiku terpojok. Percuma saja jika berbohong. "Darimana Mika tahu? Mika kan tidak bekerja di rumah sakit ini? Apa ibu atau Shirly yang memberitahu Mika?"
YOU ARE READING
I Love You, Guru Tampan
RomanceDevon Bruno, guru di sebuah sekolah SMA. Tanpa disangka-sangka, Devon bertemu gadis cantik yang pernah dilihatnya di stasiun kereta tempo hari. Namun sesuatu telah terjadi kepada gadis yang ternyata bernama Song Yu Ri. Gadis pemain biola itu terba...