Bab 9

13 2 0
                                    

Cahaya mentari pagi jatuh menyinari surat undangan merah jambu yang ada di tanganku. Sebuah kertas undangan yang indah bermotif bunga. Aku hanya membacanya sekilas. Hanya ingat bahwa hari Sabtu ini seorang teman kuliahku bernama Afyalda akan melangsungkan pernikahan. Ini adalah pertama kalinya aku diundang ke pesta pernikahan dalam beberapa bulan terakhir ini.
Afyalda dan Rici.
Hah. Entah kapan namaku akan tertulis di sebuah surat undangan. Mungkin bunyinya adalah Devon dan Miss Illution.
Yu Ri. Sejak pertemuanku yang tidak terduga dengannya di sekolah, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Beberapa waktu yang lalu aku sempat mengira bahwa gadis itu mencariku. Akulah yang dicarinya di setiap sekolah. Bodohnya aku. Terlalu percaya diri. Bukan hanya aku satu-satunya guru di Binjai ini. Konyol sekali jika aku merasa dia sedang mencariku.
Tapi dia telah sadar dari koma. Sesuatu yang seperti sudah diprediksi oleh Nina saat itu. Di saat Nina juga memintaku memilih diantara Yu Ri dan Mika. Seolah aku bisa memilih saja.
Senyuman Yu Ri yang indah. Biarlah itu menjadi hadiah yang suci untukku. Dia gadis yang amat menawan. Kecantikannya masih sama seperti yang kulihat terakhir kali di rumah sakit. Tapi cedera di kakinya begitu parah. Dia memakai tongkat.
Sebuah musibah bagi seorang gadis cantik. Aku berharap semoga saja kondisi Yu Ri semakin pulih karena mungkin akan sulit baginya untuk menjalaninya.
Aku memiliki banyak teman pria. Dari yang kukenal ada beberapa sangat arogan dan selalu mencari celah kekurangan seorang wanita yang akan didekatinya. Mereka memilah-milih untuk mencari yang paling sempurna. Entah itu memang berdasarkan typical idaman atau hanya untuk harga diri saja. Lalu wanita-wanita yang kurang layak itu akan ditinggalkan begitu saja tanpa memikirkan kesedihan mereka. Dengan keadaan sehat saja Yu Ri sudah pernah mengalami kegagalan dengan mantan kekasihnya yang membuatnya begitu terpuruk. Semoga saja ia tidak mengalami hal yang menyedihkan lagi. Semoga dia tidak akan dikecewakan lagi.
Tunggu dulu....
Rasanya ada sesuatu yang ganjal di sini.
Kemarin Yu Ri mengatakan bahwa dia telah bertanya kepada guru-guru yang mengajar di sekolah itu, dan guru-guru itu mengatakan kepadanya bahwa teman yang dicarinya memang pernah mengajar di sana, tapi sekarang tidak lagi.
Pikiran ini terus saja menghantuiku. Kenapa semuanya terasa begitu kebetulan? Siapa lagi yang dicarinya? Setauku hanya ada dua orang guru saja yang memang sudah pindah dari sekolah itu selain aku. Pak Riki guru yang mengajar Matematika yang satu tahun lalu pindah ke Jakarta dan Melissa guru muda yang pindah ke Pekanbaru. Mungkin Melissa lah yang dicarinya. Tapi entah mengapa diam-diam aku menolak pikiran bahwa Melissa berteman dengan Yu Ri. Bukannya sok tahu, tapi aku masih belum yakin.
Tetapi mengapa tidak ada guru-guru yang mengabariku bahwa kemarin ada seorang gadis datang mencariku? Aku tahu watak rekan-rekan sekerjaku di sekolah. Biasanya mereka selalu heboh jika ada sesuatu yang terjadi. Apalagi kedatangan Yu Ri yang cantik dan agak berbeda tentu akan sangat menarik perhatian mereka. Namun tidak ada yang mengatakan apa-apa tentangnya padaku. Yang ada hanya keramah tamahan seperti biasa menanyakan kabarku dan apa kegiatanku sekarang. Sama sekali tidak ada obrolan tentang gadis.
Aku memikirkan kemungkinanku untuk menemui seorang psikiater. Siapa tahu ini semua memang khayalanku. Khayalan yang begitu nyata sehingga terdapat noda darah di perban yang kubeli kemarin di apotik. Aku membawa perban itu lengkap dengan betadhine-nya. Benda-benda itu kuletakkan di meja dan cukup  sering menyita perhatianku. Ibu bergidik ngeri ketika menangkap basah aku yang memandang terpaku perban dan betadhine itu. Tentu saja dia bertanya dan aku mengatakan sebuah kebohongan manis tentang seorang anak laki-laki yang terjatuh dari sepeda dan aku mengobatinya.

***

Sabtu
Teka-teki akhirnya terjawab. Apa yang kupikirkan selama ini ternyata benar. Hari Sabtu ini adalah hari terakhir aku mengawas ujian di sekolah. Dan pagi ini setelah ujian selesai dua orang guru datang padaku mengatakan yang sebenarnya. Bu Salma dan Bu Khairiah memberitahuku bahwa kemarin ada seorang gadis Korea yang datang mencariku. Gadis cantik yang memakai tongkat bernama Song Yu Ri. Mereka tidak tahu bahwa Pak Wahab memberikan tugas mengawas ujian kepadaku di sekolah itu dan kebetulan kemarin keduanya mengawas ujian di sekolah lain.
“Karena terburu-buru, kami jadi tidak sempat memberikan alamat rumahmu kepadanya. Maaf, ya, Devon,” kata Bu Salma.
“Justru sayalah yang berterima kasih,” sahutku.
“Iya. Sepertinya dia kebingungan. Kasihan juga ya. Aduh saya jadi tidak enak denganmu. Kamu jadi tidak bisa bertemu dengannya,” lirih Bu Lisa prihatin.
“Padahal sepertinya gadis itu ingin sekali bertemu dengan kamu, Devon,” timpal Bu Salma. ”Dia itu temanmu? Cantik sekali ya? Seperti boneka.”
“Kamu kenal dimana?”
“Kok dia tidak tahu alamat rumahmu?”
“Kemarin juga dia kesulitan untuk bertanya seperti tidak begitu mengenalmu. Aneh sekali,”
Dan serbuan pertanyaan-pertanyaan itu akan terus berlanjut jika saja Pak Wahab tidak datang dan mengajakku pulang. Aku tidak terlalu banyak bicara saat di mobil dalam perjalanan pulang bersama Pak Wahab. Ternyata memang benar aku lah yang dicari Yu Ri. Lalu apa yang harus kulakukan? Apakah Yu Ri akan datang untuk mencariku lagi? Mengapa kemarin ibunya tiba-tiba datang? Kemarin adalah kesempatan yang jarang kudapatkan. Kalau saja aku bisa sedikit beruntung, aku dan dia bisa berkenalan dan mungkin saat ini sudah saling menghubungi atau bahkan membuat janji kencan.

***

Keresahan ini masih terus berlanjut sesampainya aku di rumah. Adegan kemarin berputar kembali terus menerus seperti sebuah rekaman dalam pikiranku. Aku baru berhenti memikirkannya ketika dua temanku datang. Kevin dan Lily teman kuliahku yang datang menjemputku untuk pergi ke pesta pernikahan Afyalda. Mereka juga ingin memastikan apakah aku ikut berlibur ke Berastagi dalam akhir bulan ini.
Mika yang berdiri di depan rumahnya terus memperhatikanku yang sedang bercanda dengan Lily dan Kevin sesaat sebelum pergi. Tatapan Mika membuatku merasa tidak enak. Aku tahu dia dan keluarganya masih menantikan jawaban dariku. Dan aku semakin bingung ketika Mika merengut memandang Lily yang terus bercanda denganku. Ekspresi Mika terasa membunuhku. Aku pernah dengar bahwa seorang gadis yang sedang cemburu bisa melakukan apa saja. Sebenarnya Lily memang hanya seorang teman yang lumayan akrab denganku. Tunangan Lily juga adalah sepupuku sendiri. Tapi sedikit pun aku tidak memiliki keinginan untuk menjelaskan apa-apa kepada Mika.
Perasaanku sedikit terhibur setelah tiba di pesta pernikahan Afyalda. Sebuah pesta yang meriah dengan adat khas Melayu. Warna kuning menyala marak dimana-mana. Senandung lagu Melayu terdengar merdu di telingaku. Aku tertegun sesaat memandangi sekeliling. Rasanya sudah lama aku tidak datang menghadiri pesta pernikahan. Sungguh tempat yang penuh dengan atmosfer kebahagiaan.
Kevin mulai mengoceh tentang lagu-lagu yang akan dibawakannya di pesta itu. Dia juga mengajakku untuk bernyanyi di panggung. Haha. Ternyata semuanya belum berubah. Kevin dan aku memang mempunyai hobi yang sama yaitu bernyanyi. Dan kami selalu bernyanyi di setiap pesta teman-teman dan kerabat dan membuat keadaan menjadi meriah. Kevin adalah teman yang sangat baik. Bisa dibilang aku berhutang budi padanya. Dia adalah keponakan Pak Wahab. Dia juga lah yang telah memperkenalkanku dengan pamannya sehingga jalanku semakin mudah untuk mendapatkan pekerjaan di sekolah itu.
Selain itu Kevin juga pernah sangat berjasa dalam hidupku. Sewaktu kuliah, Kevin pernah menolong ibu sekali saat ibu mengalami musibah. Ibu yang sedang belanja di pasar diserempet oleh mobil dan langsung pingsan. Kebetulan Kevin lewat dan melihat ibu mengalami kecelakaan. Lalu dia mengantar ibu ke rumah sakit dan membayar seluruh biaya pengobatannya. Sebuah moment yang tidak akan pernah kulupakan.

"Makasih banyak, Vin. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu gimana Ibu. Aku janji akan mengganti seluruh biaya yang sudah kamu keluarkan," ucapku dengan perasaan campur aduk saat itu. Panik karena tahu ibu kecelakaan dan bersyukur karena punya sahabat yang sangat baik.

"Apaan sih, Devon? Nggak usah diganti. Kamu kayak sama siapa aja. Ibu kamu udah aku anggap ibuku juga." Kata-kata Kevin yang tidak akan pernah kulupakan. Di balik sikapnya yang kekanak-kanakan, ternyata ia sangat tulus dan baik. Akan sulit mendapat teman seperti Kevin.

Aku sangat terharu dan sejak saat itu berjanji dalam hatiku akan membalas kebaikannya. Hanya saja dia termasuk salah satu temanku yang tidak mengetahui mengenai penyakitku.

I Love You, Guru TampanWhere stories live. Discover now