Selama di perjalanan tadi kata-kata ibu mengganggu hatiku. Aku tidak mencintai Mika dan sangat sulit untuk melepaskan anggapan bahwa dia seperti adikku. Namun, entah mengapa usul ibu terasa sedikit benar dalam pikiranku. Mika memang seorang gadis yang baik dan memiliki kelebihan dalam beberapa hal. Pak Wahab juga telah memberikanku sebuah pemikiran positif tentang hidupku.Sekarang hatiku goyah. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya harus kulakukan. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada Mika. Terlalu bingung. Rasanya sudah tidak ada gunanya lagi bersikap seperti tidak terjadi apa-apa saat bertemu muka dengan Mika dengan hanya mengatakan ’Halo’ atau ’Apa kabar, Mika?’ dan basa basi lainnya.
Tidak mungkin juga bagiku untuk terus bersembunyi dari gadis yang rumahnya hanya berselang beberapa rumah dari rumahku. Selain memohon petunjuk kepada Tuhan, aku juga sangat memerlukan pendapat Pak Wahab. Tapi aku tahu kesempatan itu tidak akan kudapatkan sekarang ataupun besok. Mungkin setelah ujian selesai dan Pak Wahab mempunyai waktu senggang untukku.
Tanpa terasa langkahku telah membawaku sampai ke pintu gerbang sekolah. Aku sendiri terkejut dan baru sadar setelah beberapa murid perempuan yang berjalan bergerombol menegurku. Mereka langsung terkikik geli melihat tingkahku yang mendadak kaget. Mungkin wajahku sudah terlihat semakin tolol. Aku tersenyum pada diriku sendiri.
Aku berdiri di depan gerbang menunggu seorang temanku yang akan datang menjemput. Namanya Riky Pratama. Dia teman satu SMP. Rencananya hari ini aku akan menemaninya mencari buku untuk bahan tesis kuliahnya. Seharusnya dia sudah tamat kuliah bersamaan denganku jika saja tidak bolos selama dua tahun. Dua tahun itu dimanfaatkannya dengan bekerja di Batam karena ekonomi keluarganya sedang seret. Namun, beberapa bulan yang lalu ayahnya mendapatkan warisan dari saudara jauh mereka yang telah meninggal. Benar-benar beruntung. Riky seorang pemuda yang baik dan penuh dengan canda yang memilki kehidupan yang tidak biasa. Pak Wahab memang benar. Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depannya.
Riky belum juga tampak kehadirannya dan sekolah sudah sunyi. Hanya tinggal beberapa murid yang berjalan meninggalkan sekolah. Berjalan seorang diri atau bertiga-tiga. Saat aku mulai merasa konyol menghitung orang-orang yang keluar dari gerbang, tiba-tiba perhatianku tertuju pada segerombol murid yang berseru riang. Seorang anak laki-laki sedang berlari seraya menlontarkan ejekan-ejekan tidak jelas. Dia memegang sebuah buku tulis di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi. Dan seorang anak perempuan bertubuh kecil yang rambutnya tergerai aut-autan menyusul berlari mengejarnya sementara murid-murid yang lain mulai tertawa. Tingkah si anak laki-laki itu benar-benar konyol. Dia terus mengejek gadis yang mengejarnya sambil menari-nari tidak jelas. Sama sekali tidak ada yang melihat keberadaanku. Kemudian segerombolan anak-anak itu berlalu dan menunjukkan satu sosok di belakang mereka. Sosok yang membuatku membeku.Aku tidak percaya. Benarkah apa yang dilihat oleh mataku ini? Apakah aku sedang bermimpi? Jika ini mimpi, lalu mengapa Pak Wahab dan yang lainnya terasa begitu nyata? Yang manakah yang mimpi dan yang mana nyata? Apa mungkin memang dialah yang sedang berdiri beberapa meter dariku?
Wajah tampak begitu sempurna bagaikan sebuah lukisan masterpiece yang dulu sering diperlihatkan pamanku di sebuah katalog lukisan. Rambut cokelatnya berkibar tertiup angin menutupi separuh wajahnya. Gadis itu menyibakkan rambutnya dan memandang bingung ke sekelilingnya. Sebuah tongkat kruk menopang kaki kanannya. Lalu gadis itu berjalan terpincang-pincang hendak mendekati seorang murid yang baru masuk ke pintu gerbang.
Sayangnya dia kurang berhati-hati. Tongkatnya masuk ke sebuah lobang di jalanan berbatu yang rusak. Beberapa detik kemudian dia telah jatuh ke jalan. Tongkatnya terpental sampai ke pintu gerbang sekolah.
Aku berlari dan langsung menarik tubuhnya. Kupapah dia berdiri. Saat itu juga dia berpaling memandangku. Matanya menatapku bingung. Tatapan dalam dan terasa menembus hatiku. Gadis itu terpaku memperhatikan setiap bagian wajahku. Mulutnya sedikit terbuka. Keningnya agak kotor oleh debu.
Aku menyeka debu yang ada di keningnya. Gadis itu menunduk malu kemudian menatapku lagi. Jantungku berdegub kencang bagaikan bom waktu yang siap meledak. Namun, aku berusaha mengendalikan diriku dan menuntunnya berjalan menuju sebuah warung di dekat sekolah. Gadis itu meringis kesakitan dan saat itu baru kusadari bahwa kakinya terluka. Tetesan darah mengalir dari sebuah luka yang terkuak di kaki kanannya.
YOU ARE READING
I Love You, Guru Tampan
RomanceDevon Bruno, guru di sebuah sekolah SMA. Tanpa disangka-sangka, Devon bertemu gadis cantik yang pernah dilihatnya di stasiun kereta tempo hari. Namun sesuatu telah terjadi kepada gadis yang ternyata bernama Song Yu Ri. Gadis pemain biola itu terba...