Bab 10

21 2 0
                                    


“Kenapa kamu melamun?” tanya Kevin seraya mengguitku.
Aku tersenyum dan menelan kembali memorabilia indahku tentangnya. “Tidak apa-apa,” jawabku.
Lily sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Sesaat yang lalu dia masih berada di sampingku. Tidak heran. Dia pasti sedang mengobrol dengan teman-temannya yang lain. Kevin pun meninggalkanku saat seorang temannya memanggilnya. Sedari tadi memang belum ada seorang pun yang menegurku. Mendadak aku menjadi orang paling kuper atau memang semua teman-temanku tidak ada di pesta ini. Tidak boleh. Aku tidak boleh berpikiran seperti itu.
Sesuatu menubrukku dengan keras saat aku berjalan sambil memperhatikan Kevin dari kejauhan. Tubuhku tertolak mundur seketika dan suara rintihan pelan terdengar samar-samar. Aku menoleh dan tertegun saat itu juga.
“Ma.. Maaf,” ujar gadis yang ada di depanku. Gadis cantik yang tampak sangat terkejut. Kami bertatapan untuk beberapa lama. Aku merasa limbung dan waktu seolah berhenti. Gadis di depanku tidak lain dan tidak bukan adalah Song Yu Ri.
Semula aku merasa bahwa aku tidak sedang melihatnya tapi semakin lama dia terlihat semakin nyata di mataku. Beberapa detik kemudian sikuku  berdenyut sakit. Aku mengelusnya pelan. Tongkat Yu Ri berada sangat dekat dengan tanganku. Mungkin tongkat itu lah yang menyebabkan sikuku sakit ketika kami bertabrakan.
Matanya melebar saat dia memperhatikan setiap detail wajahku. Bibirnya bergerak-gerak ragu dan senyuman menghiasi wajah cantiknya. “Abang kan yang menolongku kemarin,” serunya riang.
“Ya.” Aku membalas senyumannya.
Yu Ri melirik tanganku. “Wah. Maaf. Aku memang ceroboh,” ujarnya. Dia melirik tanganku dengan prihatin.
“Tidak apa-apa. Ini juga kesalahan Abang. Tadi Abang berjalan dengan sembrono.”
“Pasti sakit sekali, ya?” Yu Ri memandangku dengan sedih. Kenapa gadis ini suka sekali menunjukkan ekspresi wajah melankolis yang membuatku gugup?
“Tidak apa-apa. Sama sekali tidak sakit.” Aku tersenyum dan sedetik kemudian disusul dengan senyumannya. Kami bertatapan lagi sampai akhirnya dia malu dan menundukkan wajahnya. Semburat merah di pipinya semakin merona dan giliranku yang merasa malu. Rasa malu itu diam-diam masuk ke dalam hatiku bersamaan dengan perasaan aneh lainnya.
“Jadi kamu juga menghadiri pesta ini? Kamu juga teman mereka ya?” tanyaku dan sedetik kemudian aku merasa tidak enak dengan pertanyaan itu. Rasanya seperti pemilihan kata yang tidak tepat. Aku tidak tahu akan berkesan seperti apa pertanyaanku baginya. Apa mungkin dia mengira aku angkuh atau apa? Aduh. Benar-benar bingung.
Yu Ri tersenyum memandang sepasang pengantin yang bersanding di pelaminan lalu kembali memandangku lagi. “Pengantin laki-lakinya adalah sepupuku.” Kata-kata itu keluar dari mulutnya bagaikan sebuah nyanyian.
“Oh.” hanya itu yang bisa kuucapkan. Lalu seorang gadis muda yang kira-kira berusia lima belas tahun datang menghampiriku dan Yu Ri. Dia menarik tangan Yu Ri.
“Ternyata kakak di sini? Ibuku mencari kakak. Kita semua disuruh untuk berkumpul,” ujar gadis itu.
Yu Ri kelihatan bingung. Dia memandangku lekat-lekat. “Maaf. Aku harus pergi,” ucapnya.
“Silakan.”
Hah. Selalu saja ada seseorang yang menjauhkanku darinya setiap kali kami bertemu dalam sebuah kebetulan yang manis. Aku hanya bisa memandangi sosoknya melangkah pergi bersama gadis muda tadi menjauh dariku. Dia sempat menoleh sesaat.
“Terima kasih banyak, Oppa.” ujarnya. Senyuman indah merekah di wajahnya. Kemudian dia pergi. Ini memang sebuah kebetulan yang manis. Lagi-lagi aku bertemu dengan Yu Ri di saat yang tidak disangka-sangka. Dia juga memanggilku ‘Oppa’ membuat hatiku rasanya ingin meledak karena bahagia.
Aku memandangi kedua mempelai yang tengah sibuk bersalaman dengan para undangan. Mereka terlihat sangat bahagia. Pengantin laki-laki yang berwajah tampan itu mencium pipi Afyalda disusul dengan suara ricuh menggoda orang-orang yang melihatnya. Ternyata dia adalah sepupu Yu Ri. Sedangkan Afyalda adalah teman kuliahku. Hari ini di pesta ini kami bertemu lagi karena sebuah ikatan persaudaraan dan pertemanan. Yu Ri. Entah di bagian mana sekarang dia tersembunyi. Kita begitu dekat tapi dia terasa jauh dariku. Rasanya aku semakin jatuh cinta kepadanya. Dan jika kesempatan itu datang lagi bukan tidak mungkin aku akan mendekatinya. Aku akan memberitahunya apa yang selama ini dicarinya. Apa yang selama ini kurasakan. Mungkin kami akan saling mengerti dan mencintai.
Dalam satu jam ke depan pesta ini menjadi sebuah permainan bagiku. Aku dan Yu Ri selalu bertemu muka. Kami berpapasan saat aku ingin menemui orangtua Afyalda. Adegannya mirip seperti di film-film dimana aku dan dia kebingungan mengambil jalan yang sama saat berpapasan lalu terdiam dan saling malu-malu. Saat aku, Kevin, dan Lily berfoto dengan pengantin, ia juga berusaha melakukan kontak mata denganku dari kejauhan. Aku sudah tidak dapat mengusai diriku lagi sementara Kevin dan yang lainnya naik ke panggung dan menyanyikan beberapa buah lagu. Kepercayaan diriku mendadak hilang di telan bumi. Rasanya aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain bercuri-curi pandang dengan Yu Ri.
“Kamu dari mana saja sih, Devon?” Kevin mendatangiku dengan heran. Wajahnya sudah merah padam karena terlalu banyak tertawa. “Kenapa kamu diam saja hari ini? Kamu tidak asyik nih.” Kevin meninju bahuku pelan.
“Aku sedang tidak mood.”
“Lalu kenapa daritadi kau tersenyum-senyum malu?” cecar Kevin. Dia nyengir lebar dan memasang tampang usil terbaiknya. ”Kamu sedang memikirkan seseorang ya? Ayo bilang. Kamu pasti lagi jatuh cinta pada seorang cewek. Katakan siapa dia?”
“Aku gak lagi jatuh cinta.” Aku mendorong Kevin.
“Jangan bohong. Selama bertahun-tahun berteman sama kamu, baru pertama kali aku melihatmu seperti ini. Aku sangat mengenali ekspresi tolol itu, bro,” desak Kevin.
Aku tersenyum dan memandang rangkaian bunga mawar merah di sebuah meja tamu. Mawar merah yang mengingatkanku akan Yu Ri. “Aku masih belum yakin. Aku sedang berusaha untuk tidak memikirkannya.”
“Dan yang terjadi malah sebaliknya kan? Oh ya, tentu saja. Aku mengerti perasaanmu. Aku juga pernah mengalami hal itu. Menyukai seorang cewek tapi terlalu bingung dan ragu,” tebak Kevin.
“Ya. Kamu benar,” akuku.
Kevin menyeringai seraya menepuk bahuku. “Biarkan hatimu yang berbicara, bro. Tunggu beberapa lama dulu hingga waktu menjawab keraguanmu. Kalau dia memang cocok untukmu, pasti selalu ada jalan,” celoteh Kevin.
“Ah, kamu ini. Sejak kapan kau jadi bijak seperti itu?”
“Devon, kita kan sahabat. Sekarang kamu beritahu aku, siapa cewek yang ada dalam lamunanmu itu?”
“Maaf, aku tidak bisa memberitahumu. Sudah kubilang aku masih ragu. Aku sedang berusaha untuk tidak memikirkannya. Jangan ingatkan aku,“ elakku.
“Wah. Kamu memang aneh.” Kevin tertawa dan rasanya tawanya agak berlebihan. Aku tidak tahu bahwa hari ini dia akan menjadi begitu ceria. ”Oh ya, Devon. Ngomong-ngomong, sepertinya aku lagi jatuh cinta juga nih,” tambahnya.
“Hebat.”
“Tapi aku tidak pelit sepertimu. Aku akan memeberitahumu siapa orangnya,” kata Kevin. Dia menunjuk ke depan, ke arah seorang gadis yang sedang berjalan dengan bingkisan kado di tangannya. Gadis itu berjalan tergopoh-gopoh dengan tongkat menopang salah satu kakinya. Darahku seakan berhenti mengalir.
“Siapa?” tanyaku panik.
“Itu loh. Cewek yang memakai gaun putih yang memakai tongkat itu. Namanya Yu Ri. Dia itu sepupunya suami Afyalda yang campuran Korea. Tadi aku sempat berkenalan sebentar dengannya. Dia benar-benar cantik, Devon. Aku penasaran sekali sama dia.” Kevin menepuk-nepuk dadanya. ”Aduh. Rasanya seperti melayang setiap kali melihat wajah cantiknya. Dia cantik kan?”
Aku menatap Kevin tidak percaya. Apa ini sebuah lelucon atau memang kenyataannya dia telah jatuh cinta dengan gadis yang juga kucintai? Apa Kevin sudah mengetahui perasaanku terhadap Yu Ri sehingga saat ini dia menggodaku? Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?
“Dia cantik kan?” tanya Kevin penuh harap kepadaku.
“Ya,” jawabku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku tidak pernah melihat cewek yang seperti dia itu. Jarang tersenyum, tidak banyak bicara, dan seperti selalu melamun. Jiwanya seperti tidak berada di dalam tubuhnya. Seolah dia sedang berada di tempat lain. Benar-benar cuek sekali. Dia tidak pernah mau melirik ke arahku jika aku tidak menegurnya. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapan matanya. Dia itu seperti sedang gelisah, sedih, dan seperti telah terjadi sesuatu yang aneh dalam hidupnya. Mungkin saja itu benar mengingat kondisinya. Anehnya, kekurangannya itu sedikit pun tidak mengurangi rasa sukaku terhadapnya. Aku malah semakin penasaran. Aku ingin tahu lebih jelas apa yang sebenarnya telah terjadi padanya,” celoteh Kevin. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa Kevin memang telah jatuh cinta kepada Yu Ri.
Apa yang dirasakan dan dinilai Kevin terhadap Yu Ri persis sama sepertiku. Yu Ri dalam pikiranku seperti apa yang dikatakannya tadi. Tapi aku hanya bisa diam. Aku tidak mampu mengatakan apa-apa pada Kevin dan aku memang tidak tahu harus berkata apa. Jika mengatakan aku juga menyukai Yu Ri, tentu akan merusak segalanya, akan merubah atmosfer kegembiraan ini menjadi suram diantara kami. Dan mustahil bagiku untuk menyemangati Kevin dan memberikan saran agar lebih berusaha mendekati Yu Ri.
“Aku sudah sangat yakin, Devon. Aku akan mendekatinya lagi sekarang. Aku akan bertanya pada Afyalda dan suaminya tentangnya. Kau tunggu disini. Aku akan kembali dan mengabarimu apa hasilnya,” ujar Kevin yang kemudian berlari meninggalkanku.
Kevin terus berlari sampai di hadapan Yu Ri. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Aku tidak tahu itu apa yang jelas aku melihat Yu Ri tersenyum sangat manis kepada Kevin. Kevin menggaruk-garuk kepalanya dan tampak sangat gugup. Lalu kemudian mereka berjalan berdua. Yu Ri yang sangat cantik tampak sangat serasi di samping Kevin yang tampan.
Kevin yang sempurna. Kulitnya memang lebih putih dan bersih tidak sepertiku. Tubuh sixpath-nya terbentuk jelas di kemeja putih yang dikenakannya. Ditambah dengan wajah agak oriental dan selalu mendapat pujian dari teman-teman kuliah. Dia setampan bintang film Korea. Apa yang kurang darinya? Dia tampan, manis, keren, selalu membuat cewek merasa senang di dekatnya, juga memiliki segalanya. Berkulit porselen dan tidak kurus. Itu saja sudah membuat perbedaan yang begitu besar denganku. Dan yang terpenting adalah dia sehat wal afiat. Pikiran-pikiran ini terus berteriak dalam benakku. Mencabik hatiku. Aku menunduk malu hanyut dalam keputus asaan. Sekarang aku tahu. Inilah jawaban atas segalanya.
Kevin kembali tepat di saat aku mulai menelan pahit-pahit segala harapan yang ada di hatiku. Dia datang dengan raut yang tampak sedikit kecewa namun tidak sekecewa diriku.
“Aku merasa sepertinya Yu Ri tidak begitu tertarik padaku. Dia tidak terlalu meresponku,” ujar Kevin. Dia menghela nafas panjang sementara aku mengutuk diriku karena diam-diam senang mendengar kesedihannya.
“Err...” aku hanya bisa menepuk bahunya sambil melempar senyum pahit.
“Tapi ini hanya permulaan. Mungkin dia memang typical cewek yang sangat cuek dan sulit. Aku akan mendekatinya lagi dan berharap dia akan berubah menyukaiku. Aku sudah mendapatkan nomor handphone-nya,” lanjut Kevin. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa menyakitkan hatiku.
“Hmm. Bagus kalau begitu,” komentarku.
”Tapi ada sesuatu yang membuatku agak pesimis. Rici dan Afyalda memberitahuku bahwa akan sulit bagiku untuk mendekati Yu Ri. Dia itu sangat berbeda dengan cewek lain. Mereka bilang, sudah ada seseorang di hatinya. Seorang laki-laki yang sangat berarti baginya yang juga telah menyelamatkan hidupnya. Entah siapa itu aku tidak tahu. Afyalda dan Rici tidak sempat bercerita banyak padaku,” ujar Kevin.
Seseorang di hati Yu Ri....
Ahh, tentu saja laki-laki itu adalah mantan kekasihnya yang sangat dicintainya itu. Laki-laki yang karenanya lah Yu Ri nekad ingin bunuh diri. Laki-laki yang sangat berarti baginya dan yang mungkin juga telah menyelamatkan hidupnya. Konyol sekali karena sempat berpikiran bahwa aku lah orangnya. Haha. Permainan hidup ini mulai menyakitkanku.
“Sebaiknya kita pulang sekarang. Sebentar ya. Aku cari Lily dulu,” usul Kevin. Aku hanya mengangguk dan memandang Kevin melangkah pergi. Aku sendiri lagi dan saat-saat seperti ini membuatku semakin tersiksa berperang dengan pikiran dan perasaanku sendiri. Kevin pergi cukup lama. Mungkin belum bertemu dengan Lily atau sedang berusaha mengorek informasi lebih banyak tentang Yu Ri. Aku tidak tahu.
“Hai,” sapa sebuah suara lembut di sampingku. Aku menoleh dan melihat Yu Ri berdiri di sampingku membawa sebuah bungkusan plastik di tangannya.
“Eh...” Aku tertegun lagi memandangnya. Kenapa dia selalu saja datang secara tiba-tiba? Dia datang saat aku sedang memikirkannya seolah dia melompat keluar dari benakku.
“Kita belum sempat berkenalan. Oppa sudah sangat baik karena waktu itu menolongku. Perkenalkan, namaku Song Yu Ri.” Ia mengulurkan tangannya.
Aku menyalaminya sambil berusaha bertahan dengan seluruh ketabahan yang masih tersisa dalam diriku. ”Temmy.”
“Temmy?” Yu Ri menatapku bingung lagi. Alisnya bertaut sebelum akhirnya dia tersenyum. “Sekali lagi aku berterima kasih kepada Oppa. Oppa sangat baik sudah menolongku padahal sama sekali tidak mengenalku.”
“Tidak perlu berterima kasih berulang-ulang seperti itu. Abang yakin bukan hanya abang saja yang mau menolongmu. Setiap orang pasti akan menolongmu waktu itu.”
“Hmm...” Yu Ri tersenyum. “Kalau begitu, tolong terima hadiah kecil dariku ini. Ini kue buatan mama. Mungkin hanya ini yang bisa aku berikan kepada Oppa sebagai tanda terima kasih.” Yu Ri menyodorkan bingkisan yang ada di tangannya kepadaku. Astaga. Apa dia memang telah berniat mencariku untuk memberikan bingkisan kue ini?
“Ah, tidak perlu repot-repot seperti ini. Abang hanya membantumu sedikit saja,”
“Tolong jangan ditolak. Mama sangat berterima kasih kepada Oppa. Apa Oppa mau mengecewakan mamaku dengan tidak menerima pemberiannya ini? Silakan diterima,” pintanya.
Aku meraih bingkisan itu. ”Terima kasih banyak.”
“Aku belum bisa membuat kue yang enak. Padahal aku lah yang telah merepotkan Oppa,” ujar Yu Ri polos. “Kebetulan sekali hari ini kita bertemu disini. Aku dan Mama membawa beberapa kue dari rumah dan untung saja kita bertemu. Maaf. Hanya itu yang bisa aku berikan untuk Oppa.”
“Terima kasih kuenya, ya. Ini saja sudah sangat baik,” ujarku. Dia memberikanku kue dan mau tak mau aku jadi teringat dengan Mika. Fiuuh.... Beratnya beban pikiran ini.
“Ehm. Aku pamit dulu, Oppa.” kata Yu Ri. Aku hanya mengangguk dan kami bertatapan untuk beberapa lama. Tatapannya seperti berbicara. Aku tidak tahu apa yang dirasakannya. Yang kutahu adalah dia hanya akan kembali menjadi sebuah mimpi bagiku. Aku tidak akan mendapatkannya. Lalu akhirnya dia pergi meninggalkanku. Dia semakin menghilang bersama semua harapan indahku.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I Love You, Guru TampanWhere stories live. Discover now