Bab Sebelas

11 0 0
                                    


- Tempat ini kosong! – Ajeng.

Kosong.

Biar begitu.

Biar dia tahu.

Aku juga tidak tahu.

Tahu apa?

Langkah Ratih dan Indra begitu elegan di depan Dek Kur. Ratih mengamit lengan Indra dengan sadar. Ratih tidak melirik ke belakang, di mana Dek Kur terseok-seok dengan langkah dan keringat membasahi sekujur tubuhnya di malam yang terasa dingin padahal udara masih panas, di tengah keramaian, di gedung seperti pusat perbelanjaan, di segala sisi orang berjalan santai, di pandangan lurus tampak keramaian lebih padat, dan suara musik menggelagar seketika!

River City, Bangkok, The Anchor of Arts and Antiques, sebuah bangunan modern di pinggir sungai Chao Phraya. Di dalam gedung dengan lantai licin, Dek Kur hampir terpelanting mengejar Ratih dan Indra. Dua orang itu mengejar waktu, seakan telah melupakan Dek Kur yang mengalami masalah rumit saat berhadapan banyak orang, mereka tidak tahu, mereka tidak tahu...

Mereka tidak tahu,

Aku tidak kasih tahu,

Aku tidak mau mereka tahu,

Aku apa?

Apa mereka tahu?

Apa ini?

Dek Kur berdiri di tengah keramaian. Matanya berkunang-kunang. Orang-orang mengelilinginya, seakan begitu, padahal mereka berjalan ke depan dan ke belakang, dari dirinya berdiri. Mereka menenteng belanjaan. Mereka mengambit kekasih. Mereka merangkul orang tersayang. Mereka mengabaikannya, diabaikan...

Aku diabaikan,

Mereka,

Mereka berdua,

Pergi,

Itu, ini, bagaimana?

"Kamu tunggu di sini ya!" tiba-tiba Ratih menepuk pundak Dek Kur dari belakang. "Kami cari tiket dulu di sebelah sana!" tunjuk Ratih.

"Itu, apa, jangan," kata-kata Dek Kur tertelan keramaian. Ratih dan Indra telah berangkat duluan, mereka ke satu arah di mana, entah di mana, keluar dari gedung, ke kanan lalu menghilang.

Tunggu,

Ya, tunggu, itu,

Tunggu saja,

Mata Dek Kur dibasahi keringat.

Ke pinggir,

Bagaimana jika mereka tidak lihat, nanti,

Nanti, mereka tidak tahu,

Dek Kur mematung di tengah keramaian, di depannya menghadap ke sungai Chao Phraya, di belakang pintu ia masuk, samping kiri dan kanan adalah toko-toko yang menjual barang-barang mewah dan mahal. Dek Kur bagaikan anak sesat yang tidak tahu jalan pulang. Ia maju salah. Ia mundur juga sangat salah. Ia menunggu tetapi mereka lama, lama...

Mereka lama,

Lama di mana,

Tiket apa?

Belum lima menit berlalu, bagi Dek Kur itu waktu yang terlama untuk kesendirian di tengah keramaian.

- Kalian di mana sih, Dek Kur???- Ajeng.

- Gedung, - Dek Kur.

- Di mana-mana gedung, Dek Kur! - Ajeng.

- Ini, gedung, besar, - Dek Kur.

Kisah Cinta Cowok 159 CentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang