Bab Dua

21 1 0
                                    

"Kamu yakin jalan sendirian ke Bangkok, Kur?" Mama dengan khawatir membungkusi cemilan di dalam plastik warna transparan. Mama tidak tega melihat Dek Kur berkelana seorang diri karena selama ini anaknya lebih banyak diam di kamar daripada bermain di luar rumah, ke rumah tetangga saja Dek Kur tidak pernah.

"Mama nggak usah khawatir, Kur mau belajar mandiri," Dek Kur sibuk mengipasi diri dengan iba yang tiba-tiba meledak, rasa tidak tenang mendadak meleduk di dalam dirinya.

"Kamu nggak pernah seperti ini, Kur," Mama masih begitu takut melepas anaknya ke negeri orang. "Bukan mandiri yang kamu dapat nanti, tapi kebalikan dari itu!"

"Jika Mama tidak percaya sekarang, kapan Kur bisa?" masa sabar itu seakan telah punah dari dalam diri Dek Kur. Berkali-kali ia ingin keluar dari zona aman namun Mama selalu berada di pihak pertama untuk menarik kembali Dek Kur ke dalam lingkaran manja. Jika boleh melampiaskan amarah, kepada Mama ia hentakkan kata demi kata sebuah keinginan terpanjang di dalam dirinya. Namun ia tidak pernah meluapkan perasaan untuk itu di depan Mama. Mama adalah wanita penuh bahagia yang pernah ia temui sejak Papa meninggal di usia kecilnya. Mama bekerja dari pagi sampai sore di sebuah lembaga pemerintah. Hidup berkecukupan membuat Dek Kur tidak minta lebih dari apa yang ingin dicapainya.

Aku ingin olahraga seperti yang lain...

Tiap itu Dek Kur minta, Mama rela dengan basah di bawah gerimis menarik lengan Dek Kur pulang ke rumah. Lapangan bola di pertigaan rumah mereka selalu penuh anak-anak sejak ia masih kecil sampai babak akhir usia remaja. Namun hanya sekali ia bermain di sana, di bawah gerimis, di sore Minggu pada usia delapan tahun. Lepas itu, ia tidak pernah menyentuh lagi jenis olahraga apapun karena takut salah melakukannya dan takut Mama memantau dari jarak jauh.

Kesalahan aku pendek dan kurus karena jarang olahraga...

Dek Kur ingin mengutuk tetapi tidak bisa berpaling dari apa yang selama ini ia dapatkan dari Mama. Tiap ia merenung, selalu saja mendapati fisiknya kurus dan pendek bukan karena keturunan. Mama tinggi. Papa juga tinggi. Foto keluarga saat Dek Kur usia dua tahun menjadi bukti bahwa Papa dan Mama sosok yang memiliki fisik bagus bagai model kelas atas.

Sekali di usia sepuluh tahun, Dek Kur duduk di tepian lapangan bola. Bola terlempar ke hadapannya. Permintaan menendang datang dari anak-anak di lapangan. Ia menendang dengan mantap, sayangnya bola itu malah menepi sepuluh langkah darinya. Ia malu teramat banyak saat anak-anak lain tertawa. Malu itu yang membuat ia menundukkan wajah sampai anak-anak lain pulang terlebih dahulu.

"Kur bisa sendiri, Ma!" nada suara Dek Kur melengking di dalam kamar dengan warna cat biru muda. Warna kalem di dinding dan atap membuat suasana hatinya semakin melankolis dari waktu ke waktu.

Mama tidak lagi membantu Dek Kur packing. Permintaan yang semula Mama simpan tidak jadi dikeluarkan melihat Dek Kur berubah. Wanita empat puluh lima tahun itu belum pernah melihat wajah putranya menjadi warna merah. Sisi hatinya yang dalam, Mama paham Dek Kur telah berbeda dan ingin lebih dewasa.

"Ini buat jaga-jaga," Mama mengeluarkan amplop putih berisi uang. Dek Kur menerima tanpa berkata-kata. "Kamu telepon Mama kalau sudah sampai," Mama masih belum bisa bergeming dari raut wajah Dek Kur yang tidak bisa diartikan dengan makna lebih. "Mama minta kamu jaga diri,"

"Kur tahu, Ma," suara Dek Kur melemah dalam detik yang tiba-tiba. Hatinya mengurung diri kembali.

Pergi atau tidak?

Jadi jangan?

Jangan pergi saja?

Bagaimana kalau kata Mama benar?

Bagaimana kalau nanti tersesat?

Panas dingin telah dimulai. Keringat mengucuri keningnya. Kokoh hati yang telah dibangun tiba-tiba merana ke ujung penentuan hidup dan mati. Mama yang menyadari hal itu semakin tidak yakin kepada anaknya.

Kisah Cinta Cowok 159 CentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang