Pintu keberangkatan – Gates – 21 di sebelah kiri, Gates 22 masih lurus ke depan. Kurniawan Rafly memandang ke luar melalui jendela kaca besar itu. Lima menit lagi, sesuai yang tertera di boarding pass ia akan pulang. Dek Kur tersenyum entah untuk senang, mungkin juga untuk sebuah lagu kelu yang baru saja ia buang di aliran sungai Chao Phraya.
Sebuah cinta,
Ehm, ya, perasaan?
Masa remaja yang pahit untuknya, tak ada semai cinta dalam menemani putih abu-abu sampai ia merasa sangat bahagia. Sebentar lagi, ia akan melangkah lebih jauh, lebih tinggi dalam tubuh yang enggan beranjak tinggi dan membesar sedikit saja.
Dek Kur meringis, mungkin mereka akan terus menganggap anak kecil!
Suara-suara asing mengegelar di mana-mana. Semua ingin terbang, itu pasti. Semua ingin segera sampai ke rumah, itu jelas sekali dari raut wajah mereka. Dek Kur mencoba mencerna, menarik mimpi dalam keadaan sadar. Mungkin ia belum pulih sepenuhnya, ia juga belum memulai, ia hanya mempunyai perasaan, yang tidak diungkap, yang tidak diterima, bukan itu, tidak diucapkan secara jelas di depan cewek yang ia sukai. Alasan untuk menghindar atau alasan apa mengingat itu semua tidak mendasari apapun.
Ia ingat. Itu pasti.
Karena cinta.
Cinta remaja?
Cinta monyet?
Cinta-cintaan saja?
Ehm, mungkin nggak abadi cinta begitu!
Dan entah, selintas Dek Kur benar-benar membayangkan Ajeng Ruksunawarita, tinggi menjulang darinya. Tabir senyum yang terkuak dari bibir cewek populer di kelasnya itu seakan memberi isyarat untuknya menjauh saja. Ia berharap demikian, ia berharap menjauh tetapi untuk apa ia jauhi sedangkan memulainya pun belum sempat.
Pengecut!
Dek Kur benar-benar merasa pengecut. Ia takut. Tidak. Ia tidak mengungkapkan perasaan kepada Ajeng, hanya seseorang yang membocorkan rahasia itu, hanya seorang saja yang tahu perasaan itu, hanya seorang saja yang mungkin menghardik Ajeng dengan kata-kata cinta, orang itu Ratih Purnama Putri. Entah di mana Dek Kur harus mengutarakan arti sahabat sebenarnya. Entah alasan apa ia harus bertanya kepada Ratih. Tentang itu, tentang rahasia, tentang pernahkah kamu menyampaikan perasaanku kepada Ajeng?
Mana mungkin?
Aku akan bertanya...
Smartphone Dek Kur bergetar. Mungkin Ibu bertanya sesuatu. Dek Kur menarik smartphone itu keluar dari saku celananya. Sebuah nomor asing berkedip di layar cerah itu. Dek Kur menscroll ke bawah tanpa membuka kunci. Pesan itu terbaca. Keringat muncul di kening Dek Kur.
Ini apa?
Dia meminta,
Pertolongan?
Dek Kur membuka smartphone dengan jari telunjuk di bagian belakang bodi. Isi pesan penuh terlihat dan mata Dek Kur membinar, lalu lenyap lagi seketika itu.
- Hai Dek Kur, aku tahu kamu di Bangkok. Tolong aku! Indra dan Ratih di sana, tahan mereka sampai aku datang! - Ajeng.
Panas dingin terasa semakin kuat. Telapak tangan Dek Kur basah. Kisah itu belum berakhir, mungkin baru saja dimulai dari sini. Suara operator memanggil dalam bahasa Thai sebelum beralih ke bahasa Inggris. Pesawat dengan nomor penerbangan yang tertera pada boarding pass yang hampir kusut di tangan Dek Kur, akan segera berangkat ke Jakarta.
![](https://img.wattpad.com/cover/111535537-288-k142475.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta Cowok 159 Centi
Novela JuvenilKurniawan Rafky, cowok biasa dengan tinggi 159 cm di SMA Prambunan Barat Timur. Ia sering menerima ejekan dari anak-anak di sekolah karena kurus dan pendek. Dek Kur adalah panggilan untuknya dari semua orang. Dek Kur akhirnya memilih menyendiri dan...