"Ayo, Dek Kur!" Senjatah seakan-akan berteriak di gendang telinga Dek Kur. Wat Arun telah ditinggal pada menit-menit yang lalu. Bangunan itu masih tampak dengan ekor mata Dek Kur. Kesunyian yang menjadi senjata bagi Dek Kur saat berada di sisi bangunan tua itu. Ia ingin kembali, bersemedi, bernaung sesaat saja, tetapi hasrat tak ingin bermain-main dengan waktu.
Senjatah tampak error di sistem kendali mendapati Dek Kur yang belum turun dari kapal itu. Dek Kur seperti ingin melebur ke dalam asa yang berkunang-kunang dengan apa yang tak terpikirkan dalam dirinya. Air sungai Chao Phraya yang menggelora seakan telah meleburkan semua raga Dek Kur, sampai mati pada helaan napas sekali saja.
"Kamu masih mau di sini?" Senjatah tampak kesusahan setelah turun dari kapal. Napasnya terdengar tidak teratur. Senjatah menarik lengan Dek Kur keluar kapal sesaat sebelum deru mesin itu melaju kembali memecah ombak yang diciptakan oleh kapal lain yang lewat di sungai itu. Senjatah terlihat tidak sabar dengan lamunan Dek Kur.
Dek Kur tidak menjawab pertanyaan Senjatah. Binar matanya memberi isyarat yang dalam kepada sungai yang membentang. Ia belum ingin pergi dari sana. Ia juga tidak tahu harus bagaimana. Hatinya terlalu takut menguburkan semua keinginan. Remuk jiwa akibat sebuah rasa yang terlalu dalam dipendam kenangan.
"Buang, Dek Kur! Buang saja itu!!!" pekik Senjatah. Dek Kur mulai tidak tenang saat orang-orang melihat ke arah mereka.
Orang melihat...
Mata Dek Kur jelalatan.
Mereka dilihat orang-orang,
Sebentar lagi akan ditegur,
Mungkin diberi peringatan,
Bisa saja,
Mungkin.
Senjatah menepuk pundak Dek Kur.
"Kamu kenapa sih?" volume suara Senjatah belum turun dari angka yang tak terjabarkan dalam frekuensi Dek Kur, yang kalut dengan penasaran orang-orang di sekitar.
Bibir Dek Kur menggumam. Senjatah memberi isyarat dengan matanya. Lima menit terlewati, angin berdesir sesekali, orang-orang berlalu untuk menaiki kapal yang siap berangkat.
"Apa?" desak Senjatah.
"Ehm, itu, ya, apa?"
"Kamu sudah bisa move on, Dek Kur!"
"Ehm," mata Dek Kur mengamati gerak di sekitarnya.
Masih sama,
Mereka dilihat,
Mereka melihat,
Bagaimana mengatakan padanya untuk tidak teriak,
Apa dia akan marah?
Apa dia akan menyebutnya cengeng?
"Kamu buang perasaan itu di sini, ke sungai itu!" tunjuk Senjatah mantap. "Terserah kamu mau ngapain, kamu pakai tulisan apa kek, teriak sekuat tenaga, kamu terjun ke sungai itu, nggak masalah buat aku!"
"Ehm, itu, nggak, ya, nggak,"
"Kamu harus berani!" Senjatah siap-siap berdiri menghadap ke sungai Chao Phraya. "Kamu ikuti aku,"
Senjatah menarik napas panjang. Matanya terpenjam. "Cintaaaaa, aku buang kamu di siniiiii!!!"
Dek Kur menepuk lengan Senjatah.
"Eh..., cinta..., eh..., mati kau cinta, eh...jatuh ke sungai!" Senjatah seperti sesak napas. Matanya memaling ke Dek Kur dengan tatapan penuh amarah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta Cowok 159 Centi
Roman pour AdolescentsKurniawan Rafky, cowok biasa dengan tinggi 159 cm di SMA Prambunan Barat Timur. Ia sering menerima ejekan dari anak-anak di sekolah karena kurus dan pendek. Dek Kur adalah panggilan untuknya dari semua orang. Dek Kur akhirnya memilih menyendiri dan...