Bab Tujuh

8 0 0
                                    

Asiatique yang ramai. Lampu-lampu bercahaya remang. Taksi berlalu begitu saja. Mereka menaikkan dan menurunkan penumpang di persimpangan maupun masuk ke area parkir yang telah tersedia. Pejalan kaki dengan santainya menyeberang begitu jalan sepi, mungkin juga di kawasan ini kendaraan sengaja memelankan lajunya. Dek Kur memberanikan diri menepi ke Asiatique setelah ditipu oleh sopir taksi sebesar THB 450. Sejak awal ia sudah curiga dengan gelagat sopir taksi tua itu. Agrometer tidak menyala dan ia begitu enggan meminta agar dinyalakan perhitungan jarak untuk mengalkulasi berapa biaya yang harus dikeluarkan setelah itu. Ia sadar dirinya tertipu setelah diturunkan di pinggir jalan, menghadap ke bangunan-bangunan penuh lampu, padahal ia merasa baru sebentar menaiki taksi itu dari hotel. Entah di sebelah mana, tetapi terasa begitu dekat sesaat setelah sampai di tempat itu.

Anak kecil.

Mungkin.

Dia kira begitu.

Bapak tua itu.

Dek Kur berdebat sebentar, sopir taksi itu mengumpat dalam bahasa yang ia tidak mengerti. Marah-marah dengan meninju pintu taksi sampai orang lain melihat. Ia tidak bisa berbuat banyak. Menyerah adalah hal terbaik daripada bikin malu.

Malu.

Sudah malu.

Mereka melihat.

Lihat mereka.

Keringat sudah mengucur di kening Dek Kur. Matanya berkunang-kunang. Ia harus kuat untuk malam ini saja. Cari oleh-oleh lalu kembali ke hotel. Ia akan bisa. Ia akan sanggup. Masih untung ia diturunkan di tempat ramai. Bagaimana jika diturunkan di tempat lain. Ia kesasar. Dirampok atau sedikitnya kecopetan di negeri terasing ini. Mungkin juga di jalan sepi lalu isi dompetnya habis untuk bayar taksi dan ia tidak tahu jalan pulang.

Bagaimana?

Mungkin itu terjadi.

Bisa saja itu terjadi.

Keringat masih basah di kening Dek Kur. Pandangannya masih berkunang-kunang. Mata Dek Kur mencari-cari papan nama, di mana ada tulisan Asiatique. Di mana ada aksara dalam bahasa Inggris. Di mana tulisan yang bisa ia baca. Satu kata saja sudah cukup. Telapak tangan Dek Kur mulai basah. Di kiri dan kanan tidak ada tulisan apapun. Depan dan belakang juga sama.

Ditipu lagi?

Di sini, orang ramai?

Apa ini?

Bagaimana?

Gigi Dek Kur gemerutuk. Ia mengerutkan kening. Napasnya putus satu-satu. Ia mengeluarkan tarikan tersendat melalui mulut yang terasa panas padahal malam itu begitu dingin, setelah gerimis jatuh perlahan. Keringat di kening menjuntai sampai membasahi ekor matanya. Seakan ia menangis tetapi belum sampai ke rasa sesedih itu. Ia bisa balik badan, cari taksi lain dan pulang ke hotel. Tetapi, ia butuh sedikit oleh-oleh, paling tidak satu gantungan kunci, baru pulang setelah itu.

Begitu saja.

Ya, itu saja.

Langkah Dek Kur tertahan. Masuk atau langsung pulang. Ia menelan ludah yang terasa asam. Perutnya keroncongan. Ia mundur beberapa langkah.

Lihat mereka.

Mereka melihat.

"Bruk!" Dek Kur menabrak sesuatu. Seseorang lebih tepatnya. Ia terjatuh. Bukan orang itu. Tangan Dek Kur tergores dengan lantai dari semen kasar. Padahal ia telah benar menepi. Mengapa bisa menabrak lagi. Tangannya makin gemetar. Bibirnya makin kaku. Tubuhnya enggan untuk diangkat. Otot-otot kakinya lemas seakan lepas dari persendian.

Kisah Cinta Cowok 159 CentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang