Pada sebagian orang yang begitu sempurna, aku hanya butiran debu yang gosong dibakar matahari!
Kamar hotel yang pengap. Malam menggelora ke sekujur tubuh Dek Kur. Ia duduk memengkur di sudut kamar dengan lantunan kasih sayang kepada rasa di dalam dirinya. Ia masih mengingat sebuah sebutan kepada dirinya di siang tadi. Di mana-mana rasanya sama saja. Ia sama kecil di mana berada. Ia sama dari sudut pandang siapapun orang di bumi ini.
Malam di kamar yang sempit. Dek Kur tidak hanya memikirkan tentang dirinya yang teramat malu kepada dunia. Tiba-tiba saja ia merasa sangat takut kepada gelap. Keringat dingin mengucur deras membasahi kaos putih yang tak lepas dari badannya. Malam di kota ini terasa lebih mencekam daripada di negeri sendiri. Ia hampir berteriak sekuat tenaga namun urung mengingat malu teramat panjang dari sebuah teriakan itu. Jika ia berteriak, orang-orang akan mengetuk pintu kamarnya. Jika orang datang, mereka akan bertanya kembali di mana orang tuanya. Jika orang datang, ia bahkan tak berani mengeluarkan kata-kata pembelaan atas rasa takut yang menggelora.
Namun, pada sudut lain di kamar yang remang, Dek Kur seakan merasakan ada kehadiran makhluk lain. Film-film Thailand yang ia tonton sedikit tidaknya memengaruhi aura di kamar itu. Hantu yang sedang menarik selimut. Hantu yang sedang bercengkrama. Hantu yang sedang mencari jati diri. Hantu yang malu-malu kucing. Hantu yang sedang makan malam. Hantu yang sedang meratapi diri. Hantu-hantu itu seakan menertawai Dek Kur yang kalut mempertimbangkan rasa malu untuk dapat dikubur dalam.
Bulu kuduk Dek Kur merinding. Ia menepis semua lara dengan menarik pintu kamar, keluar dari ruangan pengap itu. Tak lama, ia malah lebih gemetaran daripada di dalam kamar. Cekikikan terlihat jelas di depan matanya. Orang-orang sedang bercengkrama di depan kafe hotel. Orang-orang sedang bercerita dengan tawa panjang.
Ini lebih menakutkan...
Dek Kur akan malu. Ia akan malu lagi. Orang-orang akan melihat kehadirannya. Orang-orang akan sadar dirinya kecil. Orang-orang akan memelototi dirinya yang pendek. Orang-orang akan menertawai dirinya yang kurus. Orang-orang akan memperlakukannya bagai seorang anak kecil yang kehilangan orang tua. Orang-orang akan begitu saja.
Mata Dek Kur berkunang-kunang. Keringat bagai bersimbah darah. Tetapi yang terjadi malah keluar dari apa yang diinginkannya. Pikiran menolak, badan menerima. Ia ingin memutar balik, badan itu malah berjalan enteng ke antara orang-orang itu. Ia tak mau ke sana, badan itu malah melayang bagaikan layang-layang dengan arah di lintasan garis lurus.
Suara Dek Kur meminta susu ke pelayan yang mondar-mandir. Bahasa Inggris yang dilatih dengan baik, malah keluar bagai kambing sedang menaiki tangga. Patah dua lalu jatuh ke rasa malu kembali. Pelayan yang rupawan itu meminta Dek Kur menunggu. Senyum menawan dari pelayan itu menghilang di balik dapur. Tak lama berselang, pelayan itu membawa susu yang diminta Dek Kur berikut harga yang harus dibayar.
"Jika Anda membutuhkan sesuatu, cukup tekan nomor 3 dari dalam kamar," ujar pelayan itu dengan lembut. Dek Kur mengangguk. Lalu ia merasa berada dalam hening. Orang-orang di sekitar seakan tak ada.
***
Aku tidak mau malu lagi!
Dek Kur keluar kamar hotel dengan semangat. Wajahnya sangat cerah. Pagi yang panas di Bangkok. Debu beterbangan di mana-mana. Angin sepoi-sepoi menjemput kemelut yang tiba-tiba melayang ke hati Dek Kur.
Banyak orang.
Orang di mana-mana.
Mereka melihat.
Lihat mereka memperhatikanku.
Mereka tahu aku sendiri.
Mereka akan bertanya di mana orang tuaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta Cowok 159 Centi
Teen FictionKurniawan Rafky, cowok biasa dengan tinggi 159 cm di SMA Prambunan Barat Timur. Ia sering menerima ejekan dari anak-anak di sekolah karena kurus dan pendek. Dek Kur adalah panggilan untuknya dari semua orang. Dek Kur akhirnya memilih menyendiri dan...