Bab Enam

8 0 0
                                    


Sendiri, ya, sendiri lagi.

Apa? Bagaimana?

Senjatah hanya mengirim pesan singkat akan ke Phuket pagi itu. Rencana mereka berantakan. Tidak ada lagi waktu ke Budha Tidur. Tidak jadi belanja oleh-oleh di Asiatique. Tidak jadi keliling taman yang indah di Grand Palace.

Mungkin dia memang begitu,

Mungkin dia tidak setia kawan,

Mungkin dia bosan.

Dia takut?

Dia malu?

Mungkin dia memang sudah ada rencana.

Dek Kur memengkurkan diri di kamar sepanjang hari. Tiada apa yang ingin ia lakukan. Breakfast dibiarkan berlalu sampai perut keroncongan. Roti tawar menganjar perutnya sampai siang hari. Air putih telah ia habiskan dua botol dan kini hanya tersisa setengah botol lagi dari tiga botol di dalam kamar hotel itu.

Suara-suara bising mulai nyaring di gendang telinganya. Terbahak di lorong kamar hotel. Di depan pintu kamarnya seseorang berteriak sekuat tenaga. Suara itu menyuruh lempar. Berkali-kali suara bariton itu meminta seseorang melempar sesuatu namun tak kunjung terdengar suara lemparan. Dek Kur mulai panas dingin. Keringat mengucuri keningnya. Dahinya. Bulu kuduk membentuk senjata pamungkas seperti landak yang sedang membela diri. Sekali tertusuk, berbisa pada waktu yang sama.

"Throw!!!"

***

"Lempar, Dek Kur!"

Lempar apa?

Apa dilempar?

Siapa melempar?

Dek Kur berdiri kaku di depan kelas.

"Lempar!"

Tangan Dek Kur gemetar.

"Lempar sini jika kamu tak ingin mati!"

Bagaimana?

Apa itu?

Lempar...

"Kamu lempar, kamu mati!" Indra Sagina Putra berdiri penuh senyum kemenangan di pintu masuk. Kelas tidak pernah hening meskipun sedang jam istirahat, di mana sebagian besar siswa sedang berada di kantin. Anak-anak cowok berlarian di dalam kelas, tawa mereka menggelegar. Anak-anak cewek sibuk bergosip, tentang apa saja yang tidak pernah terpikirkan oleh Dek Kur.

"Lempar sini, Dek Kur!" pekik suara-suara itu.

Siapa?

Mengapa?

Lempar apa?

"Kebanyakan bengong kamu, minggir sana!" seorang anak cowok menyinggung lengan Dek Kur. Ia tersungkur ke lantai. Matanya melirik Indra yang menyunggingkan senyum sinis. Anak-anak cowok lain mulai berlarian tak tentu. Mereka menendang. Mereka berteriak. Berkeliling kelas seperti lapangan hijau. Mereka seakan sedang diamati oleh ribuan suporter.

"Sini-sini,"

"Sepak yang kuat,"

"Aaaahhhh!"

"Kamu sih,"

"Bagi-bagilah, kalah lagi kita,"

Dek Kur baru sadar dari mimpi panjang saat bola kasti kembali mendarat di depannya. Bola itu tidak mendarat dalam arti sebenarnya. Bola itu tepat mengena dahi Dek Kur sampai ia terhuyung ke belakang. Cukup keras bola itu membuat kepala Dek Kur seakan bengkak bagai balon udara. Lalu menipis dengan sendirinya saat mendengar kata lempar kembali.

Kisah Cinta Cowok 159 CentiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang