17 - Malam Keenam

6.7K 877 25
                                    

“Saya kasih tau Pak Kiai kalau dia pulang nanti,” kata salah seorang murid yang berjalan bersama ayah di sekitar majelis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Saya kasih tau Pak Kiai kalau dia pulang nanti,” kata salah seorang murid yang berjalan bersama ayah di sekitar majelis.

Kaki mereka sama-sama melangkah di dalam bangunan megah itu. Pelataran yang luas untuk mengaji, taman dan berbagai pendopo untuk bersantai. Tak lupa asrama dan masjid besar yang terdapat di bagian depan. Sedangkan rumah Sang Kiai berukuran tak beda jauh dengan rumah ayah. Cat hijau dan putih terlihat di mana-mana. Di beberapa tempat, suara anak-anak mengaji terdengar merdu memanjakan telinga.

Mereka berdua sampai di parkiran. Setelah ayah bersantai beberapa jam di majelis dan dihidangkan berbagai hidangan, dirinya kemudian berniat pulang setelah menunaikan solat ashar berjamaah di masjid. Seorang anak remaja dengan peci dan sarung berdiri menunggu ayah memakai helmnya.

“Tolong ya, Dek. Bilangin Pak Kiai,” kata ayah sebelum menjalankan motornya pergi dari lokasi.

“Insyaallah, Pak. Saya sampaikan ke Pak Kiai,” jawab murid itu.

Ayah lalu menyalakan mesinnya, ia putar arah terlebih dahulu. Menghadapkan motornya ke arah gerbang besar yang sudah terbuka. “Assalamualaikum,” ucap ayah yang kemudian mulai maju meninggalkan tempat itu.

“Waalaikumsalam,” jawab murid itu. Dirinya lalu melangkah masuk kembali ke dalam pelataran di mana anak-anak lain tengah mengaji dengan merdunya.

Perjalanan pulang yang berkilo-kilometer melewati sawah dan rumah-rumah warga pun berlangsung lancar tanpa kendala. Malam pun tiba saat ayah masih dalam perjalanannya, gemerlap lampu-lampu perkotaan menandakan dirinya yang sudah dekat dengan rumah. Ayah mempercepat laju kendaraannya, melaju melewati berbagai kendaraan lain.

Angin dingin malam menerpa jaket yang melindungi tubuhnya. Tangannya terus menekan pedal, pikirnya ingin segera sampai di rumah dan bertemu anak-anak. Setelah berlama-lama di jalan aspal, sampailah ia di jalan kampung yang kasar. Terasa sedikit guncangan saat melewati beberapa polisi tidur buatan warga.

Ayah sedikit kaget saat sampai di rumah, matanya menatap heran kerumunan orang yang berkumpul di depan rumahnya. Rumahnya sudah ramai oleh warga saat ia datang. Pikirannya langsung kacau, firasatnya tidak enak  Segera ia masuk melewati gerbang, memarkirkan motor dan buru-buru melepas helm.

“Ada apa rame-rame di rumah saya?” tanya ayah dengan nada cemas. Beberapa warga lalu menoleh ke arah ayah. Tapi mereka tidak bergeming, diam tanpa kata. Tidak ada yang menjawab hingga akhirnya Pak Ustad keluar dari luar rumah ayah sambil memakai kacamata.

Pria tua berkacamata itu mendekat ke arah ayah sambil menatapnya serius. Kakinya perlahan bergerak melangkah dari dalam sarung hijau itu. “Pak Robi. Udah sejak kapan Bu Irma kondisinya kaya gitu?” tanya Pak Ustad.

“Istri saya kenapa, Pak?” Ayah malah bertanya balik dengan nada panik.

“Pastinya Pak Robi lebih tau gimana keadaannya. Ikut saya.” Pak Ustad yang tak mau basa-basi lalu masuk ke dalam rumah. Ayah ikut menuruti perintahnya. Di ruang depan, ketiga anaknya bersama Rissa sedang duduk dengan wajah takut. Bahkan Rara tampaknya habis menangis, matanya sembab dan pipinya lembab bekas air mata. Perasaan ayah semakin tak enak.

7 Malam Setelah Nenek Meninggal (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang