7. Illusion

1.1K 64 15
                                    

Halo, readers-ku yang manis nan budiman.

Budayakan vote and comment yaa. Thanks :)

Tidak. Ini tidak mungkin.

Ibuku sudah meninggal.

Aku pasti salah lihat.

"A-ali...."

"Iya, Ra? I'm here." Kata Ali yang masih bersimpuh di sampingku dan kini mengusap kedua lengan atasku.

Aku mulai mengucek kedua mataku berulang kali.

"Udah, Ra. Stop. Jangan dikucek terus." Cegah Ali sambil memegang kedua tanganku, menahanku mengucek mataku lagi.

Aku menoleh ke arah Ali. "S-sepertinya kau menulariku deh, Li. A-aku jadi ikut berilusi bahwa ibuku masih hidup."

Ali menggeleng dan tersenyum. "Tidak, Ra. Aku juga melihatnya. Kau tidak sedang berilusi."

Suara langkah kaki menghampiri kami berdua.

"Wahai. Sudah syukur kalian tidak ku usir. Mengapa malah enak-enakan duduk di tanah, bocah?"

Kami membisu. Tidak ada satupun diantara aku dan Ali yang menimpali suara berisik itu.

Nampaknya ia memperhatikan apa yang sedang kami lihat dan membuat kami tertegun bersimpuh di tanah seperti itu. Aku mendengarnya menghebuskan napas dalam.

"Kosong! Lambat! Kemari! Bawa kedua anak itu masuk ke rumah induk."

Kosong dan Lambat mendekati aku dan Ali yang masih bersimpuh di tanah.

Lalu Lambat bersimpuh di samping Ali.

"Anak muda, tolong bantu temanmu berdiri dan masuk ke rumah induk."

Aku menoleh kepada Ali dan menggeleng pelan.

Aku tidak mau, Ali. Aku masih ingin menikmati ilusi ini.

Ali pun menghembuskan napas dalam, tersenyum, dan mengangguk pelan. Ia berbisik kepadaku, "sedikit lagi, semua tanyamu akan terjawab, Ra. Aku tidak akan pergi sejengkal pun dari sampingmu."

Entah bagaimana, kalimat Ali mampu menenangkan diriku. Perasaanku yang kacau, jantungku yang berdugup kencang, pikiranku yang tak karuan. Semua terasa sirna dan kembali adem setelah mendengar kata-kata Ali.

Sepertinya Ali mulai punya kekuatan baru, 'menenangkan orang lain' yang seharusnya jadi tugasku memberikan sugesti positif kepada orang lain lewat sentuhan tanganku.

Padahal baru beberapa menit yang lalu, dia sendiri yang tidak mau ikut masuk ke klan Nebula. Sekarang sudah seperti orang yang benar-benar tidak akan membiarkanku sendiri saja sedetik pun.

Kosong membungkuk dan turut memegang pundak kiriku. "Mari, Nak. Masuk ke dalam. Lumpu sudah menunggu."

Aku menatap Kosong penuh heran. Kini Kosong, Lambat, dan Lumpu sudah berkoalisi?

Seperti dapat membaca pikiranku, Kosong tersenyum. "Tak apa. Sejatinya Lumpu adalah tetua yang bijaksana dan mampu memberikan rasa aman pada seantero warga klan Nebula."

Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ali yang masih terus mengusap kedua lengan atasku seperti menyalurkan energi yang membuat tubuhku sudah tidak lemas lagi.

Sejujurnya aku sudah kuat berdiri sendiri. Meski begitu Ali tetap tidak membiarkanku berdiri sendiri.

Langkahku tertuju pada rumah paling besar di pemukiman klan Nebula. Namun mataku tak bisa lepas dari wanita yang masih saja memandang bulan purnama dengan mata hijaunya yang terus bercahaya.

Raib & Ali (URSA MAJOR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang