BAB IV

4 2 0
                                    

HAPPY READING AND ENJOY THE STORY❤️💋

...

Sepuluh tahun yang lalu

Saat aku membuka mata, kudapati diriku berdiri di depan rumah yang dahulu keluragaku tempati. Dengan perasaan yang tak karuan, kaki melangkah. Belum sempat sampai di depan pintu, aku merasa ditabrak oleh sosok anak kecil yang berlari keluar dengan penuh tawa. Aku menoleh, ingin memastikan keadaan anak itu, tapi ia terlihat baik-baik saja. Bahkan, tidak merasa tersentuh sedikit pun. Aku pun terkejut karena anak itu adalah aku.

Aku melangkah masuk, ayah, ibu, dan adikku duduk sambil ibu yang berusaha mengikat rambutnya. Aku ingat sekarang, hari ini adalah hari di mana kami akan berlibur ke kebun binatang sesuai permintaanku beberapa hari ini. Dan untuk pertama kalinya, aku menyesal telah memaksa untuk tetap pergi. Karena di sinilah petaka itu berawal.

“Ma, Pa. Ayo cepetan. Nanti zoonya tutup.” Kulihat aku, yang menyembulkan kepala di pintu.

“Iya, iya. Ayo, Sayang,” kata ibu sambil menuntun adikku yang saat itu berusia empat tahun. Aku menangis menyaksikan ini.

Aku memperhatikan mereka kemudian ayah melewatiku. Ia tersenyum padaku dan menganggukkan kepala. Aku menangis, ingin sekali tubuh ini memeluknya dan meminta maaf, tapi apalah daya, dunia kita berbeda. Rasa penyesalan seketika menyerangku, keringat dingin serta napas yang sesak menyiksaku.
...

Untuk kedua kalinya, aku membuka mata. Namun, kali ini rasanya seperti berada di kamar rumah sakit.

“Na! Tiana!” Itu suara Sari. Aku yakin. Tak lama sosoknya berlari ke arahku. Memeriksa dengan sembarangan membuatku sedikit pusing. Tapi Sari tak sendiri, ia bersama tiga kakak kelas yang belakangan ini sering mengangguku.

“Lo nggak apa-apa kan?” tanyanya dan aku mengangguk.

“Adek Tiana baik?” Aku tertawa mendengar petanyaan Kak Defri.

“Lebay deh lo. Kamu baik-baik aja kan, Cantik?” Sekarang giliran Kak Rama.

“Apaan dah kalian berdua, norak tau,” kata Sari kemudian duduk pada kursi.

“Dari pada nanyain kabar gue. Mending kalian cerita kenapa kalian bisa seakrab ini?” Aku penasaran, yang aku tau, Sari sama sepertiku. Tidak punya banyak kenalan apalagi di sekolah.

“Kita teman kecil.” Tiga kata itu membuatku gugup. Entah kenapa jika Kak Gilang yang membuka suara, aku selalu merasa berdebar.

“Teman kecil? Kok nggak seangkatan?” tanyaku. Jelas dong, jika mereka semua teman kecil, kenapa hanya Sari yang tidak seangkatan?

“Lo pernah tinggal kelas, Sar?” Pertanyaanku dibalas tawa oleh semuanya. Bahkan Kak Gilang terlihat sedikit tersenyum. SEDIKIT. Dasar pelit!. Padahal senyum, kan, ibadah.

“Enak aja! Gue emang setahun lebih muda dari mereka. Makanya kita nggak seangkatan,” protes Sari. Aku hanya tersenyum kemudian mengangguk sebagai respon.

“Oiyah, siapa yang bawa gue ke sini? Kan bisa di UKS aja,” tanyaku karena ini benar-benar berlebihan.

Tidak ada yang menjawab pertanyaanku, tapi sebagai respon mereka bertiga kompak melihat ke arah Kak Gilang. Aku menatap Kak Gilang meminta penjelasan.

“Gue refleks,” katanya dengan melihat ke arah lain. Lucu menurutku. “Kata dokter lo udah boleh pulang,” sambungnya.

“Tapi, gue gak ada uang bayar rumah sakitnya,” kataku menatap Sari.

“Gue tunggu di luar,”  kata Kak Gilang kemudian berjalan keluar.

“Tenang aja, udah dibayar sama Gilang,” kata Kak Rama.

Terserah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang