BAB V

8 3 0
                                    

MAAF BANGET KARENA HARI SENIN LALU AKU GAK UPDATE SOALNYA ADA HAL YANG MENDESAK. IN SYAA ALLAH, SETELAH INI BAKAL NORMAL LAGI.😘

HAPPY READING AND ENJOY TGE STORY❤️💋

...

BAB V

Hari ini, tepat tiga hari Kak Gilang hilang dan selama itu pula, aku selalu ke rumah Sari untuk bicara tentang perkembangan kasus ini. Seperti biasa, aku bersiap-siap untuk ke rumah Sari kemudian satu panggilan membuatku langsung terduduk. Nomor tidak dikenal. Tumben ada yang menelponku dengan nomor baru. Kenalanku kan tidak banyak.

“Halo,” sapaku. Lama aku menunggu. Namun, tak kunjung ada jawaban. Aku memeriksa kembali dan panggilannya masih tersambung.

“Ini gue, Gilang.” Tiga kata itu berhasil membuatku berdiri dengan menajamkan pendengaran. Aku kaget sekaligus gugup karena mendnegar suara Kak Gilang lagi.

“Ya, Kak? Kakak di mana? Kakak baik-baik aja, kan?” tanyaku pada orang di seberang sana. Aku benar-benar memborbardirnya dengan pertanyaan karena memang itu yang harus aku lakukan.

“Gue di depan,” katanya. Di depan? Maksudnya, di rumahku? Aku baru ingin menjawab, tapi dia sudah mematikan sambungan teleponnya. Aku langsung lari ke depan dan benar saja, kak Gilang ada di depan rumah, debgan gaya bersandar ke motornya. Aku berlari ke arahnya.

“Ini beneran Kak Gilang? Kakak dari mana aja? semua panik nyariin Kakak,” kataku khawatir sekaligus kesal. Aku kesal karena sejak orang di depanku ini hilang, Kak Def jadi sensitif terhadapku. Padahal, aku sama sekali tidak tahu tentang kasus hilangnya Kak Gilang.

“Ayo naik, gue mau ngomong,” katanya kemudian naik ke motor dan memakai helm full facenya.

“Ke mana? Mending Kak Gilang ke rumah Sari. Yang lain ada di sana,” kataku.

“Ikut aja. Nanti gue jelasin,” katanya dan aku mengikut. Aku penasaran dengan apa yang akan di jelaskannya.

Setelah berkendara beberapa menit. Kami berhenti di taman dekat rumah Sari. Apa Kak Gilang sengaja berhenti di sini? Kak Gilang berjalan menuju tempat duduk yang berada tidak jauh dari pintu taman. Aku mengikutinya dan duduk agak berjauhan.

“Jadi Kakak mau ngomong apa? Kakak baik-baik aja, kan?” tanyaku. Aku sangat penasaran sekarang. Dari sekian banyak temannya, kenapa dia mau menemuiku dan menjelaskan sesuatu? Bukankah bertemu dangan sahabatnya akan lebih baik?.

“Pertama, stop manggil gue kakak, karena gue bukan abang lo,” katanya dalan satu tarikan nafas. Aku heran, tumben ada kakak kelas yang tidak ingin dipanggil kakak.

“Kedua, gue mau minta maaf kalau apa yang gue omongin selanjutnya ini bikin lo kecewa sama gue.” Aku menatapnya bingung. Hal apa sebenarnya yang ingin dibicarakan? Kenapa aku harus merasa kecewa padanya?

“Kakak ... maksud aku, kamu beneran baik-baik aja, kan?” tanyaku memastikan. Aku memanggilnya dengan sebutan kamu karena kata ‘lo’ tidak sopan menurutku. Bagaiamapun dia masih kakak kelasku dan aku sama sekali tidak merasa seakrab itu dengannya.

“Gue baik. Baik banget malah. Makanya gue mau ngomong ini ke lo. Gue nggak bisa bohongin lo lagi.” Kata-katanya berhasil membuatku menatapnya intens. Dia bohong apa padaku?

“Kamu bohong apa ke aku?” tanyaku. Apakah dia tidak bisa memperjelas maksudnya? Ini terlalu berbelit untuk aku yang kepoan.

“Ini taruhan.” Aku yang mendengrnya mengeryitkan dahi. Taruhan? Taruhan untuk apa? Dan apa hubumgannya denganku?

“Maksud kamu, aku jadi bahan taruhan?” tanyaku dan dia hanya mengangguk “Tapi kenapa?” tanyaku lagi dan dia mulai bercerita.

“Lo inget waktu lo hampir mati karena nerobos lampu merah? Gue sama geng motor gue ada di situ waktu itu. Lo dikerumunin orang dan gua ada di tengah-tengah itu. Gue tau lo kerja di coffee shop mana karena gue ada waktu lo dipermaluin sama pasangan yang mau lamaran itu.” Aku yang mendengar penjelasannya hanya bisa mematung dan tidak percaya. Ternyata Gilang selam itu sedekat ini denganku.

“Terus, maksud aku yang jadi bahan taruhan itu apa?” tanyaku karena inti dari masalah ini belum ada dalam penjelasannya tadi.

“Gue tau kita satu sekolahan. Gue sengaja nabrak lo waktu di tangga. Gue sengaja terus-terusan gangguin lo. Karena taruhannya adalah gue harus deket sama lo tanpa ada perasaan apa-apa. Gue harus bisa buat lo suka sama gue, setelah itu gue akan ninggalin lo.” Aku tercengang mendengarnya.

“Jadi, lo yang baik ke gue itu semuanya cuman rekayasa?  Biar gue baper ke lo?” Oke. Aku nggak bisa sopan lagi sama dia. Walaupun akhirnya dia cerita kalau ini semua cuman taruhan. Tapi kenyataan memang sangat sulit aku terima.

“Gue minta maaf. Beberapa hari ini gue nggak hilang. Gue cuman butuh waktu untuk cerita ini ke lo.”

“Lo dapet hadiahnya?” tanyaku. Aku melihatnya, dia sedikit kaget dengan pertanyaannya. Kemudian dibalas gelengan olehnya.

“Belum. Gue ngajak lo ketemu untuk buat kesepakatan,” katanya.

“Gue tetep mau lanjutin taruhan ini, sebagai imbalannya. Lo boleh minta apa aja ke gue. Ke luar negeri atau ke mana pun. Apa aja yang lo mau.” Tawarannya menarik. Toh, ini tidak merugikan juga buat aku. Aku hanya harus berpura-pura suka sama dia supaya dia menang dan aku bisa dapatin apa yang aku mau.

“Emang apa hadiahnya kalau lo menang?” tanyaku dan dia menjawab rahasia. Aku mengangguk dan memikirkan tawarannya. Lumayan, aku boleh minta apa saja.

“Jadi lo mau minta apa?” tanyanya.

“Pertama, gue nggak akan pake aku kamu sama lo. Kedua, gue mau ke Berlin,” kataku mantap. Kota impianku sudah di depan mata. Persetan dengan taruhannya, yang aku pikirkan cuman Berlin.

“Berlin doang? Nggak Inggris sekalian, atau semua negara Eropa?” Oke. Ini sombong menurutku.

“Lo sanggup?” tanyaku.

“Gampang, lo mau seminggu juga bisa.” Seminggu katanya?

“Seminggu? Lo kata gue mau jalan-jalan? Gue ke Berlin mau kuliah. Makanya gue kerja buat nabung.” Aku melihat wajah Gilang, ia tampak syok mendengar permintaanku. Ia tampak menimbang.

“Oke. Gue bakalan bawa lo ke Berlin, tapi dengan syarat. Lo harus resign dari kerjaan lo.” Aku menatapnya bingung. Mau makan apa aku kalau resign.

“Kenapa? Ibu gue mau makan apa kalau gue gak kerja,” tolakku.

“Gue yang biayain. Gue takut lawan gue gangguin lo.” Aku mengangguk, tapi tak sepenunya setuju dengan tawarannya yang satu ini.

“Emang siapa lawan lo? Kak Def sama Kak Rama panik tau nyariin lo. Mereka nggak gabung ke geng motor lo?” tanyaku penasaran.

“Ini rahasia. Kita punya kesepakatan seperti ini juga rahasia. Defri, Rama, ataupun Sari nggak boleh tau,” katanya. Aku hanya mengangguk. Yang jelas, gue bener-bener bisa ke Berlin.

“Jadi lu mau kan jadi pacar gue?” tanyanya. Aku terkejut mendengarnya “Pacar taruhan gue maksudnya. Inget, kabar tentang kita pacaran nggak boleh bocor ke sekolah. Itu syarat dari gue.” Aku hanya mengangguk. Lagi pula, siapa yang bercaya jika aku membocorkan ini. bisa-bisa aku hanya jadi bahan bulying.

“Kenapa harus pacaran? Kan gue cuman harus terus pura-pura suka sama lo,” tanyaku. Karena ini berlebihan jika harus ada hubungan diantara kita.

“Serah lo,” katanya kemdian pergi dan aku mengekorinya.

....

🌷Sampai ketemu di bab selanjutnya...
Fyi, aku update setiap hari senin dan jumat. Catat, ya, SENIN dan JUMAT.🌷

Jangan lupa bintangnya dan komen untuk saran...

Sayang kalian banyak-banyak💋❤️

Terserah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang