BAB VIII

4 1 0
                                    

HAPPY READING AND ENJOY THE STORY❤️

...

Aku sebenarnya merasa tidak enak dengan Fani. Seharusnya hari ini, dia yang diantar pulang oleh Gilang, tapi lelaki dingin ini malah bertingkah dengan sengaja mengajakku pulang. Padahal, aku sudah membayangkan keseruanku bersama Sari.

Gilang tak mengantarku pulang, karena tadi aku dan Sari mengatakan ingin nongkrong. Alhasil, Gilang benar-benar membawaku kes sebuah  coffee shop.

Berbicara tentang coffee shop. Aku sudah beberapa hari ini tidak berangkat kerja karena sibuk dengan urusan sekolah. Walaupun Gilang sudah menyuruhku resign, tapi tidak akan melakukannya karena aku mau makan apa kalau tidak kerja.

"Lo akrab sama Fani?" tanya Gilang, dan aku menatapnya heran.

"Tumben nanyain cewek," kataku agak malas.

"Cumburu?" tanyanya. Aku membulatkan mata mendengar pertanyaannya. Buat apa aku cemburu dengan orang yang tidak punya hubungan denganku?

"Lo amnesia apa gimana, sih? Kita kan nggak ada hubungan apa-apa, ngapain gue cemburu?" tanyaku sedikit sewot. Ya, kalian pikir saja, tidak ada angin tidak ada hujan. Kenapa pikiran seperti itu terlintas di benaknya?

"Kita kan pacaran," balasnya sambil menyeruput kopi yang tadi ia pesan.

"Inget, ya. Hubungan kita itu cuman kesepakatan, nggak ada bawa-bawa perasaan," ujarku sambil meminum lemonade kesukaanku.

"Kalau gue kebawa perasaan sama lo, gimana?" Aku tersedak mendengar kata-katanya. Si es ini kenapa lagi, sih?

Aku memajukan tubuhku dan menempelkan punggung tanganku ke dahinya. Memeriksa apakah dia baik-baik saja atau tidak.

"Gue sehat," katanya dan aku hanya menatapnya bingung.

"Nggak, lo sakit. Serius!" balasku meyakinkan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.

"Pertanyaan gue belum lo jawab, Hel," katanya. Hel? Dia memanggilku Hel? Gilang benar-benar sakit hari ini.

"Hel? Nama gue Tiana!" Aku menegaskan namaku.

"Gue lebih suka manggil lo Helga." Aku menatapnya lama dan dia juga menatapku begitu dalam.

Mata Gilang benar-benar indah jika diperhatikan se-intens ini. Postur wajahnya juga lumayan untuk orang yang tidak berdarah asing. Kalau Gilang seperti ini, teduh sekali. Daripada harus melihat dia dengan rahang tegas seperti menahan amarah.

"Nggak! Gue mau pulang, lo ngaco ngomongnya." Aku berdiri dan bersiap untuk pergi, tapi tanganku dicegat oleh Gilang dengan sedikit menarik. Aku kembali terduduk.

"Di sini aja. Temenin gue," sahutnya dengan suara yang rendah. Bukan suara dingin yang biasa dia lakukan.

"Lo kenapa, sih?" tanyaku memastikan karena hari ini, Gilang sangat aneh.

"Gue cuman minta ditemenin sama lo," jawabnya. Mendengar Gilang mengatakan itu, membuatku berdebar dan rasanya pipiku memerah.

"Lo blushing?" tanyanya dan aku gelagapan. Aku hanya mengambil minumanku dan meminumnya sambil melihat ke arah lain.

"Gue minta maaf, Hel," kata Gilang dan aku menatapnya.

"Gue ngga ngerasa lo ada salah ke gue," kataku.

"Kemarin Fani minta diantar pulang karena rumah kita searah," sambungnya lagi.

"Ceritanya, lo lagi klarifikasi ke gue?" tanyaku.

"Terserah lo mau anggap ini apa." Tiba-tiba suasana jadi berubah.

Aku memang kecewa dengan Gilang kemarin, tapi aku tidak menyangka kalau dia akan membahas itu sekarang. Kenapa tidak minta maaf sejak pagi? Kenapa baru sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terserah SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang